I'm Sorry Dad, Popps

881 76 12
                                    

Mungkin sebagian besar orang tua akan menanyakan anaknya dari mana saja jika ia pergi dan sampai rumah tidak tepat waktu. Sudah berbulan-bulan Peter selalu pulang diatas jam 9 malam padahal ia selalu berangkat ke kampusnya pagi.

Tony memang cenderung lebih cerewet soal Peter jika anak itu kadang suka kebablasan maka ia selalu uring-uringan jika anak ini pulang telat.

"Kemana perginya anak itu?" Tony yang sedari tadi hilir mudik sambil menekukkan kedua tangannya di pinggang.

"Dia tidak bilang padamu, hari ini ia pergi kemana setelah dari kuliahnya?"

"Tidak!" jawabnya singkat.

"Tidak kau telepon saja?" Steve rasa ia tak salah ucap tapi Tony berhenti tepat didepannya dan memandangnya tajam. "What?" Steve bingung.

"Kau tak pernah bertanya padanya kenapa dia selalu pulang malam akhir-akhir ini?"

"Aku tidak sempat—"

"Tidak sempat?" Tony mulai melotot pada Steve. "Steve, dia anakmu aku sudah cukup banyak mengerjakan pekerjaan di rumah, kutanya kenapa kau tak tanya padanya kau bilang tak sempat?" Tony mulai emosi.

"Honey... Listen to me, Maaf jika aku sudah membuatmu marah. Aku pikir ia memang sedang sibuk untuk mengerjakan pekerjaan sekolahnya dengan teman-temannya maka itu aku tidak menegurnya!"

"Pekerjaan sekolah macam apa kalau pulang malam setiap hari selama empat bulan ini. Dulu ia tak seperti ini!"

"Baiklah, aku akan menegurnya saat ia sampai!" Steve mencoba menenangkan Tony.
.
.
.
.

"No.. you've got a lot of things in here.. here..!" Peter dengan manisnya bersandar di bahu Wade dengan manjanya. Mereka sedang sibuk game di gadget milik Wade.

"Ya.. kau benar itu akan membantuku lebih cepat mati." Timpanya kemudian membuat Peter tertawa dengan jawabam kekasihnya itu. Kekasih?

Semenjak bertemunya mereka hampir beberapa bulan ini, Peter merasa jika ia memiliki ketertarikan yang sama seperti kedua orangtuanya. Pada awalnya memang Peter mencoba untuk membuka hati pada wanita tapi yang ada hasilnya ia tidak memiliki hasrat itu dan terlalu dipaksakan baginya. Ia belum mau mengenalkan Wade pada kedua ayahnya hanya dia takut Ayahnya tidak akan menyukai pria yang suka asal bicara ini namun pada dasarnya bagi Peter Wade adalah sosok pria gentleman yang bisa menjaganya dengan baik.

"Itu seperti serangan zombie, kau kelihatan takut sekali." Ucap Peter.

"Wait, what?" Wade menatap tajam kearah Peter.

"Kubilang kau terlalu ketakutan..."

"Fine." Wade melepaskan ponselnya dan meletakkannya di meja samping sofanya. Dengan wajah polos, matanya hanya mengikuti arah saat Wade meletakkan ponselnya di meja.

"S-sudah selesai mainnya? Bukankah itu masih berlanjut?" Tanpa mengucapkan apapun Wade menerjang tubuh Peter dan menguncinya jelas membuat Peter teriak-teriak atas kelakuan kekasihnya itu padanya.

"Waktunya bermanin sungguhan denganmu." Godanya, Peter mencoba untuk berontak walau ia terlihat mulai memerah di pipinya.

"Wade..."

"No, don't fight!"

"Wade, kita sudah melakukan ini kemarin." Peter masih berusaha melepaskan diri dari pelukan Wade namun memang tubuhnya lebih kecil dari Wade akhirnya pria ia berhasil dikuncinya. Ia tersenyum dengan lebar tanda ia akan benar-benar memangsa makanannya.

"Mau es krim?" Tanyanya saat wajah mereka saling bertemu. Peter tersenyum dan mengangguk. "Kiss me." Pintanya pipi Peter semakin memerah.

"Hehehe... Aku akan melakukannya kalau disana ada rasa vanila."

We Need Together! [TFE sekuel] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang