SNIPER-X

12 2 0
                                    

Cahaya matahari menelusup melalui celah jendela menerpa matanya yang masih terpejam. Perlahan matanya terbuka, nyeri di seluruh tubuhnya masih terasa. Masih lekat dalam ingatannya apa yang terjadi di hari naas itu, bahkan hingga tiga ledakan yang merubuhkan tembok bangunan itu masih jelas terbayang dalam ingatan, bahkan saat sebelum dia akhirnya tak sadarkam diri, dia masih bisa melihat semburat wajah dari kedok yang terkoyak dari si pria misterius itu.

"Akhirnya kau siuman juga." Sosok itu muncul dari luar pintu kamar.

"Ragil...? Kau..." lirihnya terkejut. Dia tak mengira bisa bertemu dengannya lagi.

"Ah... untunglah kau masih mengingatku. Aku khawatir kau amnesia."

"Apa aku di rumahmu?" Farres mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar yang tampak cukup luas itu.

"Bukan ini rumah kakekku."

Farres tak begitu mengenal Ragil dengan baik, tapi dia sangat berterima kasih pada Ragil karena telah menyelamatkan nyawanya. Namun dia masih mencari dua sosok yang dia kenal sangat dekat selama menjalankan misi.

"Apa Eleanor dan Valerie...?"

"Mereka sepertinya telah pergi setelah ledakkan terjadi."

Farres hanya bisa menghela napas, berharap semoga mereka sudah kembali ke rumah dengan aman atau setidaknya berada di tempat aman, meski di kepalanya masih berkutat dengan ingatan yang menyiksanya akan apa yang telah dia lalui selama menjalankan misi.

"Apa lukamu sudah membaik?"

"Ya, sudah jauh lebih baik sekarang hanya saja..."

"Nanti juga rasa sakitnya akan hilang. Kakek sudah memberikan obat untuk lukamu itu." Pandangannya bergulir ke arah bagian bawah pinggang Farres seolah dia sudah mengetahu apa yang telah terjadi padanya.

"Terima kasih."

"Sudahlah, kita pernah saling mengenal meski tak begitu dekat. Jadi sudah kewajibanku menolongmu. Sekarang kau istirahat saja." Ragil keluar dari kamar meninggalkan Farres seorang diri di dalam kamar untuk sekadar memulihkan tenaganya.

Sudah hampir petang saat Farres terbangun dan memaksakan diri beranjak dari pembaringan untuk menghirup udara di luar demi menghapus penat di kepalanya. Rumah itu tampak begitu luas dan bersih, dengan lokasi yang berada di tengah perkebunan luas membuat udara segar dengan mudah bisa dia hirup dengan leluasa.

"Farres...?" Sebuah suara yang terdengar asing ditelinganya tiba-tiba mengalihkan perhatiannya. Alangkah terkejutnya saat dia berpaling dan menemukan sosok si empunya suara itu. Lelaki itu adalah lelaki yang sama persis dengan yang dia lihat di foto yang diberikan Darman beberapa hari lalu sebelum kejadian naas itu menimpanya. Wajah itu pula yang tertera di dalam berkas yang dia temukan di lembaran berkas di gubuk tua itu.

"Wicaksono...?" Ucapnya terbata-bata.

"Oh jadi kau sudah tahu siapa aku rupanya."

Entah reaksi apa yang harus dia tunjukan di depan Wicak. Apakah dia harus marah dan benci karena secara tidak langsung dialah yang menyebabkan kejadian naas yang menimpanya, atau berterima kasih karena dia telah menyelamatkannya atau malah merasa senang karena akhirnya dia bisa bertemu dengan orang yang sepertinya bisa memberikan dia penjelasan yang jauh lebih transparan di banding Lukas dan para dedengkotnya tentang kejadian di masa lalu yang akhirnya merenggut nyawa neneknya juga.

"Darman mengikut sertakan aku untuk memburumu. Tapi kami gagal dan hasilnya kami harus menerima hukuman."

"Maaf kalau secara tak langsung aku telah membuatmu menderita."

Farres menunduk tak bersuara lagi, bukan karena sedih ataupun marah, tapi karena dia menyadari bahwa tak ada gunanya menyalahkan Wicak atas apa yang dia alami, toh sudah menjadi naluri dasar manusia untuk berusaha menyelamatkan diri, dan Wicak yang melarikan diri dari kejaran Darman adalah sesuatu yang wajar.

Dalam kepalanya yang tertunduk, pikirannya kini melayang menuju dua saudara kembarnya, Farris dan Ferris. Kini hanya doa yang terucap dalam diam yang bisa dia panjatkan pada Sang Pencipta untuk selalu menjaga mereka yang jauh di sana, selama dia menggantungkan diri pada Wicak hingga menemukan jawaban atas semua pertanyaannya.

'Semoga suatu saat kami bisa bertemu kembali.'

***

AKARSANA : Lautan TragediTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang