IX

3.6K 490 42
                                    

Ketika pesawat gue landing di bandara Minangkabau gue menunggu sekian menit hingga penumpang lain sudah hampir semuanya turun dari badan pesawat. Baru gue menurunkan tas ransel yang isinya nggak seberapa karena gue memang light packer. Lagian kabar terakhir dari Mika, waktu kami nanti akan habis di jalan.

Nggak tahu deh, itu artinya gue akan menggelandang di sini, atau kami memang tidak butuh banyak barang-barang ketika melakukan kegiatan touring dengan band tenar seperti mereka.

Gue belum benar-benar merasakan kenyataan itu, menghampiri Mikasa ke pulau seberang atas undangannya untuk sekali lagi menyaksikan mimpinya menjadi nyata. Rasanya masih ... nggak seharusnya ini hal yang dengan impulsif gue lakukan atau dengan enteng Mika tawarkan pada gue. Memang gue sepenting apa buat Mika sampai dia harus going extra miles demi mendatangkan gue ke Padang?

Sepenting apa keberadaan gue di sini, di tengah-tengah mimpi Mika yang sudah terwujud?

Gue mengembuskan napas berat. Jam delapan lebih sekian menit di pagi hari, dan cuaca Padang menyambut gue dengan terik.Padang ini dekat laut, ya? Gue belum pernah ke Sumatera sama sekali jadi ini adalah pertama kalinya. Gue pikir gue akan heboh mengarsipkan segala pertama kali ini dalam instastory atau dengan heboh live report ke Rhea. Nyatanya gue hanya merasakan gugup, dan badan gue pegal-pegal akibat semalam nggak bisa tidur.

Apa ya, alasan Mika repot-repot menerbangkan gue ke mari tiga hari sebelum konser Rebound? Hanya Mika dan malaikat pencatat amal yang tahu. Jadi ketika gue mendapati Mika yang melambaikan tangan ketika gue sampai di arrival, gue kembali mengembuskan napas berat. Entah karena lega Mika benar-benar menanti gue di arrival sesuai janjinya, atau kecewa karena ternyata Mika nggak sendirian.

Bego lo, Ra. Jelas aja Mika nggak sendirian. Mana mungkin agensinya membiarkan aset mereka berkeliaran di pulau orang sendirian menjelang acara konser mereka?

Mika mengambil alih tas punggung gue dengan wajah mencari-cari seakan dia nggak percaya gue cuma satu tas ransel. "Safe flight?"

"Yep. Flight paling aman yang pernah gue tumpangi." Jawab gue pasti.

Mika terlihat lelah pagi ini. Kantung matanya terlalu kentara daripada terakhir kali gue melihatnya di rumah Damar belasan hari yang lalu. Mungkin karena itu dia mengenakan topi hitamnya kali ini. Mungkin Mika berusaha menyamarkan bayangan lelah di raut wajahnya.

Tapi tetap saja, mata gue punya filter yang bisa membuat Mika tetap terlihat charming di kondisi apapun. Dia tetap terlihat kayak habis mandi di depan gue. Dengan dagu dan bagian atas bibir yang licin tanda dia barusan cukur pagi ini.

"Eh, kenalin ini manajer aku Mbak Tasya. Ini Bang Oki, yang kemarin hubungin kamu buat ngurusin akomodasi sama pesawat, Ra."

Gue menyalami keduanya. Tasya mempunyai raut kekanakan yang ramah. Meski gue yakin dia jauh lebih tua daripada gue dan Mika. Sementara Bang Oki langsung berbasa-basi menanyai gue macam-macam sementara kami beranjak dari arrival ke lokasi parkir.

"Ini kita ke hotel, kan? Jauh nggak dari sini?" tanya gue mengonfirmasi karena jujur aja gue pengin tidur mengingat badan gue berasa remuk banget.

Gue mendengar Tasya tergelak. "Lo nggak nginep di sini, Ra, malam ini."

"Di mana?" Gue mendelik ke arah Mika yang masih sibuk dengan ponselnya sambil cengengesan.

"Bukittinggi, Ra." Jawabnya singkat.

"What—"

"Mika pengin tahu kampung gue, Ra. Terus kebetulan aja deket jadwal konser. Sekalian juga ajakin tamu spesial, katanya." Jawab Bang Oki dari kursi kemudi. Mika memotong kalimatnya dengan sergahan pelan. Membuat Bang Oki tertawa kecil. "Pre-mudik gue, Ra."

Settle for HalfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang