Laskar Sang Pemimpi

42 5 0
                                    

oleh Krisna Wahyu Stianingsih

Pagi ini burung-burung berkicau ria menyambut datangnya sinar mentari. Sama halnya dengan Aluna, gadis berseragam putih abu-abu yang bersemangat menghadiri upacara 17 Agustus yang diadakan di lapangan sekolahnya.

Apakah ini yang dinamakan kemerdekaan? Rasanya seperti sebuah kebanggaan. Batinnya seraya menghirup udara pagi yang segar.

Dikendarainya sepeda roda dua itu dengan penuh semangat, tak perlu waktu lama Aluna pun sampai di sekolah. Ia segera memarkirkan sepeda kesayangannya dan berlanjut menuju lokasi upacara. Ia berbaris rapi dan mengikuti upacara dengan hikmat.

Sampai tiba saatnya pembacaan UUD 1945, di situ Aluna memahami dan meresapi kata demi kata yang diucapkan oleh petugas. Karena ia ingin menjadi petugas upacara kemerdekaan khususnya seorang pembaca naskah UUD 1945, itu adalah sebuah kebanggaan besar untuknya.

"Suatu hari nanti, aku akan menjadi salah satu dari mereka!" ucapnya yakin, sambil melihat petugas yang sedang membaca naskah undang-undang itu.

Seketika hayalan gadis itu lenyap, karena teman sebelahnya menepuk pundak gadis itu pelan. Ia pun bergejolak kaget.

"Apa yang sedang kau bicarakan, Lun?"

"Aku hanya ingin, suatu hari aku menjadi salah satu dari mereka."

"Bukankah itu hal yang mustahil? Kau tahu, kan, mereka anak polisi yang ditugaskan untuk upacara ini? Sedangkan kau? Kau hanya anak orang biasa"

"Apakah menurutmu seperti itu?"

"Iya, terserah padamu juga."

Aluna mencerna kata demi kata yang diucapkan oleh temannya tersebut. Ia termenung sesaat memikirkan perkataan temannya tersebut. Ada benarnya juga perkataanya.

Pantaskah aku berdiri di sana? Menggunakan baju kebanggaan seorang petugas. Pantaskah aku membaca naskah itu? Tidak! Tidak! Aku juga warga negara Indonesia bukan? Jadi aku pantas, kita itu sama terlepas dari profesi atau kedudukanku. Iya! Iya! Benar! Batinnya bergejolak meyakinkan diri bahwa ia memang pantas menerima tugas itu suatu hari nanti.

Senyum merekah terpampang jelas di wajah gadis berseragam putih abu-abu dengan nama Aluna. Ia semakin yakin dengan mimpinya menjadi seorang petugas kemerdekaan. Mewakili seluruh rakyat Indonesia sebagai pembaca naskah UUD 1944. Hal itu merupakan sebuah tanda apresiasi atas balas jasa kepada para pahlawan yang telah memberikan kemerdekaan.

Setelah upacara usai dan para siswa telah membubarkan diri, Aluna menghampiri seorang guru. Guru tersebut ternyata adalah seorang pembimbing untuk tim paskibraka. Dulu ia tidak tertarik sama sekali dengan paskibraka, tapi karena ia ingin menjadi seorang petugas kemerdekaan mau tidak mau ia harus belajar paskibraka.

"Pak, saya ingin mendaftar menjadi anggota paskibraka," ucapnya penuh sopan santun, tapi tak luput dengan semangatnya.

"Siapa namamu?" tanya Pak Suryo.

"Aluna, saya ingin mendaftar menjadi anggota paskibraka, Pak," ulangnya

"Tentu, kamu bisa masuk. Namun, mungkin saya tes terlebih dahulu. Kamu bersedia?"

"Iya Pak, saya bersedia," jawab Aluna dengan penuh semangat untuk mengikuti tes tersebut.

"Minggu depan setelah jam pelajaran bisa, kan?"

"Iya Pak, bisa!"

"Baiklah, saya tunggu di lapangan, ya."

"Terima kasih, Pak."

Setelah percakapan dengan Pak Suryo, Aluna pun beranjak menuju parkiran dan pulang. Rasa bahagia tak bisa lepas dari wajah gadis ini sedari tadi. Seperti mendapat emas permata atau mungkin hadiah satu miliar. Ah tidak, mungkin lebih dari itu. Rasa bahagianya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Apalagi setelah ia berhasil menjadi anggota paskibraka, itu akan membuatnya teramat bahagia.

____________________________________________

Hallo, terima kasih sudah membaca cerita ini, semoga suka. Jangan lupa tinggalkan jejak ya, satu vote dan comment kalian sangat mendukung bagi kami.

Ruang Fiksi (Fiksi Mini dan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang