Berharga

43 6 0
                                    

oleh Mayang Sari

Di dalam kafe seorang gadis duduk gelisah, matanya terus memperhatikan jam yang melingkar di tangannya. Dia Meyra.

Meyra sedang menunggu Aidir—sahabatnya. Namun, sudah satu jam Aidir belum juga datang.

“Maaf membuatmu menunggu. Apa kau marah, Mey?” tanya Aidir karena melihat Meyra menatap tajam.

“Sejak kapan aku bisa marah padamu? Orangtuaku sudah tak ada, saudara aku tak punya. Hanya kau yang aku punya,” ucap Meyra.

“Kau punya Allah."

“Iya tapi aku tak ingin kehilangan teman yang berharga.” Aidir tersenyum mendengar ucapan Meyra.

“Kau pucat, sakit?”

“Ti–tidak,” jawab Aidir, kemudian tak sadarkan diri.

***

Di ruangan serba putih, Aidir terbaring lemah. Meyra tak bisa menahan air matanya.

“Inilah mengapa aku tak mau kau tahu, kau cengeng.” Aidir mengelus kepala Meyra.

“Kau pasti bisa melewati ini. Selama ini kau selalu mendukungku, kini giliranku. Berjanjilah kau tak akan menyerah.” Meyra menggenggam tangan Aidir erat menyalurkan semangat.

___________________________________________

Hallo. Terima kasih sudah membaca cerita ini, semoga suka. Jangan lupa tinggalkan jejak, satu vote dan comment kalian sangat mendukung kami.

Ruang Fiksi (Fiksi Mini dan Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang