Pukul 12.15 siang dan aku masih setia menatap layar. Harusnya sekarang aku bersama Wati, Andra, dan Sofie, menikamti soto betawi Pak Min di kantin gedung. Tapi enggak, aku malah duduk sendirian di sini, di corner finance and accounting sambil menatap nanar tagihan listrik, air, dan beberapa gaji penjaga shelter yang menunggak dibayarkan.
Akhir-akhir ini pemasukan shelter kucing jalanan yang aku dan teman-temanku kelola memang sedikit ngadat. Kami makin banyak menemukan kucing liar yang sangat butuh perawatan tanpa memperhatikan pemasukan yang kita dapat entah itu dari hasil penjualan kucing maupun dari para donatur.
Mana lagi Andin, rekan satu komunitas yang tugasnya bantu aku mengurus keuangan di shelter malah nggak bisa dihubungi. Kupikir Andin sudah tau masalah yang ada di shelter makanya dia sengaja menghindar dari panggilanku.
Kupijit keningku berkali-kali. Ditambah lagi pekerjaanku akhir-akhir ini juga lagi banyak banget. Belum lagi harus bantuin Mas Gangga dan Mami cari seserahan buat lamarannya besok Minggu.
Kucoba sekali lagi buat nelepon nomer Andin yang lagi-lagi nggak kesambung. Sumpah, rasa curigaku ini makin menjadi-jadi. Mau marah pun aku nggak bisa. Tahun kemarin shelter kami juga kedapatan masalah serupa tapi nggak separah sekarang. Waktu itu aku lagi sibuk-sibuknya membuat end year report yang bikin aku nggak bisa sepenuhnya bantu Andin mengurus keuangan di shelter.
"Ah!" Gila! Lagi pusing-pusingnya ini kepala, tiba-tiba aja ada sesuatu yang dingin basah-basah gitu nempel di pundak. Saat aku menengok ke belakang, kulihat Tobi berdiri sambil menempelkan satu cup minuman di pundakku yang terbuka. Hari itu aku memang ngantor pakai baju off shoulder. Karena di kantor ini memang nggak begitu memperhatikan aturan berpakaian. Ya selama kamu nggak ke kantor pakai tanktop atau boxer atau hotpants sih menurutku nggak masalah.
"Kenapa nggak turun?" tanya Tobi. Dia sekarang sudah duduk di kursinya Mas Arsen yang ditarik sedikit mendekat ke arahku.
Aku menyeruput buble tea yang dibawakan Tobi tadi dengan seruputan kasar. Alhamdulillah, leganya.
"Di lap tuh," ucap Tobi sambil mengangkat box tisu dari sebelah laptopku. Dagunya menunjuk ke pundakku yang basah karena ditempelin sama cup buble tea tadi.
"Thanks." Aku mengacungkan buble tea dan tisu ke atas.
"Kenapa?" Tobi tanya sekali lagi.
"Shelter gue pailit."
"Hah? Kok bisa?" Keningnya itu berkerut. Ekspresinya bener-bener kayak orang yang penasaran banget gitu.
Tapi aku mau ngakak pun nggak sanggup karena terlalu banyak beban pikiran.
"Penjualan kucing beberapa bulan ini rada melemah. Belum lagi donatur juga nggak sebanyak dulu. Dananya banyak kekuras buat biaya perawatan kucing. Biaya gaji karyawan nunggak. Belum lagi tagihan listrik sama air."
"Mau pinjem duit gue dulu apa? Kalo cuma buat tagihan listrik sama air kayaknya nyukup deh."
"Kalo gitu pun mending gue ambil duit gue sendiri, Bi. Tapi kan musti gue obrolin dulu sama yang lain. Mana Andin malah ngilang lagi."
Mata Tobi kayak nerawang gitu. Lalu dia membuka suara lagi. "Andin the pinkish girl itu?"
Gue mengangguk lemah, melanjutkan seruputanku pada buble tea. Tobi juga mulai sibuk dengan ponselnya. Mungkin lagi chatting-an dengan Kintan. Di tengah-tengah keheningan itu, Mbak Odlin lewat. "Makan, Bi, Tha," kata Mbak Odlin sambil mengangkat box makanan yang dibawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Things (Tersedia di HiNovel)
RomancePersahabatan antara laki-laki dan perempuan hanyalah sebuah dongeng. Begitu kiranya orang bilang. Kalau Tobi ditanya pendapatnya, jujur, dia bingung. Bingung karena dia tidak ingin kehilangan sahabat terbaiknya, namun di satu sisi ada hati lain yang...