Pendekatan

13.4K 653 109
                                    

Kicauan burung-burung gereja terdengar saling bersahut-sahutan sambil berterbangan di atas genting. Seakan-akan seperti suara musik yang mengalun merdu menyambut datangnya pagi. Butiran-butiran embun pagi, mulai mengikis seiring dengan terbitnya sang surya dari ufuk timur. Cahaya mentari yang hangat berwarna kemerahan menerobos masuk melalui cela-cela dinding rumah yang hanya terbuat dari bilik bambu. Keindahan suasana pagi di desa itu, dapat terlihat dengan jelas dari dalam kamar saat si pemilik kamar membuka jendela rumahnya.

Suasana pagi memang indah, namun tidak seindah suasana hati seorang remaja putra yang masih meringkuk sambil memeluk bantal guling. Bagaimana tidak, karena pada saat remaja itu mulai membuka mata, ia langsung disambut dengan senyum yang menawan oleh seorang pria berwajah rupawan.

Senyum itu seolah menjadi obat penghilang rasa sakit, untuk kakinya yang sedang terluka.

"Sudah bangun dek? Gimana? Nyaman apa enggak tidurnya? Di gigitin nyamuk apa ndak?"

Suara maskulin yang mengalun lembut dan penuh perhatian itu, seolah merontokan kembali hati Bagas yang memang sudah rontok, saat si pemilik suara itu menyambutnya dengan senyuman.

Bagas menggeliat, sambil mengucek-ngucek matanya menggunakan bagian bawah kedua telapak tangannya. Ia hanya tersenyum simpul untuk menjawab pertanyaan pria gagah yang sudah menjadi seorang Ayah itu.

"Jam berapa mas?" Tanya Bagas.

"Jam lapan lewat dek" Arya duduk di sisi dipan, kaki kanan ia naikan di atas kasur. Sedangkan kaki kiri ia biarkan tetap menginjak lantai. Arya membungkuk, matanya melihat bagian kaki Bagas yang terlihat bengkak. "Masih kerasa sakit dek kakinya?" Tanya Arya sambil dengan lembut ia menyentuh telapak kaki Bagas.

Bagas memejamkan mata, menarik napas lembut, menghirup dan meresapi wangi sabun mandi yang bercampur dengan parfum non alkohol beraroma maskulin yang berasal dari tubuh gagah Arya. Aroma wangi itu menentramkan hati, dan menenangkan perasaan Bagas.

"Masih mas" jawab Bagas, matanya teduh menatap wajah Arya yang sedang melihat kakinya.

"Bisa bengkak gini ya?" Arya menatap ibah pada kaki Bagas.

"Ayaaah...!"

Suara munggil Adnan membuat Bagas dan Arya menoleh pada Adnan yang baru saja masuk kedalam kamar. Keduanya tersenyum simpul menatap Adnan.

Adnan berjalan mendekati Arya. setelah sampai di dekat Arya, Adnan memeluk paha sekal milik pria yang ia panggil Ayah tadi.

Bedak tabur yang acak-acakan di wajah polos Adnan membuat Bagas tersenyum gemes. Adnan paling males kalao dikasih bedak setiap kali habis mandi. Tapi bu Sumi selalu memaksanya, sehingga bedaknya tidak rata, dan hanya di bagian-bagian tertentu saja yang menempel di wajah Adnan.

Arya menatap wajah Adnan, telapak tangannya yang kasar dengan lembut mengusap puncak kepala Adnan. "Simbah mana?"

"Agi bitin djamu" jawab Adnan dengan suara cedalnya.

"Wah... gantengnya dek Adnan, sudah mandi ya?" Tanya Bagas.

Meski masih kecil, tapi Adnan tahu jika ia sedang dipuji. Oleh sebab itu anak polos itu merasa tersipu, ia menarik bibir bawahnya dan tersenyum nyengir.

"Sini naik ke kasur, duduk deket sama om" ucap Bagas sambil telapak tangannya memukul-mukul kasur untuk duduk Adnan.

Karena merasa belum terlalu kenal, sehingga Adnan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menolak ajakan Bagas. Kemudian Ia menidurkan kepalanya di atas selangkangan Arya, sambil menggeliat manja layaknya anak-anak balita. Wajahnya yang polos tetap memandang remaja ganteng yang masih terasa asing di matanya.

Oh.. Mas AryaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang