09.58PM

4.4K 703 19
                                    

Senin, 27 Mei, 09.58PM

Astaga, dia benar juga.

Mendadak, dia tampak berbahaya. Tanpa sadar, kakiku mundur beberapa langkah. Kenapa aku tak berpikir sampai ke sana? Aku memang menduga kalau omongan penculik itu hanya mengada-ada, sebab aku tak pernah membunuh siapa pun, tapi dari mana aku bisa yakin sepenuhnya kalau Matthew juga tak bersalah sepertiku?

Bisa saja dia berada di sini karena memang telah melenyapkan nyawa seseorang.

Bukannya aku berpendapat kalau dia terlihat seperti tipe yang dapat membunuh, tapi aku juga tak bisa dengan yakin mengatakan sebaliknya, apalagi aku tak terlalu mengenalnya. Aku menatapnya lekat-lekat selagi berusaha keras untuk mengingat seperti apa dia dulu. Apa dia memang kelihatan seperti orang yang dapat membunuh?

Sejak masuk ke SMA Polaris, sosok Matthew sudah mencuri perhatian. Dia merupakan satu-satunya siswa yang diterima tanpa tes dan mendapatkan beasiswa penuh selama tiga tahun. Sayangnya, dia miskin.

Shelby pernah bilang kalau keluarga Matthew bergantung pada tunjangan pemerintah, dan ayahnya tak memiliki pekerjaan sementara ibunya bekerja sebagai pencuci piring di sebuah restoran--aku tak tahu dari mana Shelby mendapatkan semua informasi itu. Yang jelas, kemiskinan merupakan masalah besar di SMA Polaris, yang hampir seluruh muridnya berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas.

Aku sendiri tak mempermasalahkan apakah seseorang miskin atau tidak, semata-mata karena itu bukan urusanku. Tapi lain halnya dengan Shelby, yang memegang status sebagai murid paling kaya di SMA Polaris. Baginya, murid-murid miskin seperti Matthew tak pantas bersekolah di SMA Polaris.

Dia selalu bilang kalau keberadaan mereka mengusiknya, bagai duri dalam daging, meskipun jumlah mereka hanya sedikit. Dan itulah sebabnya dia selalu merundung mereka. Tujuannya, membuat mereka keluar dari SMA Polaris secara sukarela, sebab dia ingin menjadikan sekolah kami sebagai sekolah eksklusif yang hanya berisi orang-orang dengan status ekonomi yang sama sepertinya.

Dengan latar belakangnya sebagai anak pemilik yayasan SMA Polaris, tak ada yang berani menghalanginya. Aku menyaksikan sendiri bagaimana dia--bersama Eli dan Brian--menghancurkan siapa pun yang dia inginkan. Beberapa murid akhirnya menyerah dan pindah ke sekolah lain.

Kecuali Matthew.

Aku tak tahu apa alasannya dia bertahan, sebab aku yakin dia juga bisa mendapatkan beasiswa di sekolah lain dengan tingkat kecerdasan yang dia miliki. Jadi barangkali dia punya alasan lain kenapa dia bersikap begitu keras kepala, walaupun hal tersebut hanya merugikan dirinya sendiri.

Matthew balas menatapku dengan jenis tatapan yang dia berikan setiap kali kami merundungnya dulu. Penuh kebencian dan amarah terpendam. Tapi, sama seperti dulu, dia tak mengatakan apa pun, dan aku tak mengerti kenapa. Sejujurnya, dia adalah satu-satunya orang yang memiliki tatapan seperti itu dari semua murid yang pernah kami rundung.

Murid yang lain selalu menatap kami dengan sorot penuh ketakutan dan memohon-mohon agar kami memaafkan mereka--padahal mereka tak pernah berbuat kesalahan apa pun pada kami. Sementara Matthew? Dia tak pernah memohon sekali pun, tapi sorot matanya dengan jelas menyuarakan kalau dia tak berpikir pantas diperlakukan dengan buruk, dan sering kali itu membuatku frustrasi.

Jika dia pikir itu tak adil, kenapa dia tak pernah melawan? Kenapa dia hanya diam saat Shelby mengata-ngatainya? Kenapa dia tak membalas ketika Brian atau Eli memukulinya?

Terkadang, kupikir dia sengaja mengalah dan menunggu waktu yang tepat untuk membalas dendam, misalnya dengan cara mendorong kami jatuh dari tangga, jendela, atau atap sekolah. Dia memiliki banyak kesempatan untuk itu, tapi kenyataannya dia tak pernah melakukannya. Dia membenci kami, tapi dia tahu tak ada untungnya untuk menyakiti atau bahkan membunuh kami. Dan sepertinya aku dapat menebak apa alasannya--yang membawaku pada dua kesimpulan. Dia bukan pembunuh dan dia takkan membunuhku di tempat ini.

"Kau takut padaku sekarang?" tanya Matthew dengan nada mencemooh, membawaku kembali ke masa sekarang. Pipiku seketika memanas sewaktu melihat seringai mengejek terpampang di wajahnya. Aku merasa konyol setelah dengan terang-terangan menunjukkan kalau aku takut padanya, padahal akulah yang dengan tak tahu malu mengajaknya bekerja sama untuk keluar dari sini.

"Ya, itu benar," jawabku jujur. Dia pasti dapat melihat dengan jelas ekspresi takut di wajahku tadi, jadi berbohong tak ada gunanya. "Aku sempat takut kau akan membunuhku, tapi sekarang aku yakin kau takkan melakukannya."

Seringai di wajahnya lenyap dan rahangnya menegang. "Kau pikir aku tak sanggup membunuhmu?"

"Tidak, bukan begitu," bantahku cepat. "Pertama, jika kau membunuhku maka keluargamu akan kehilangan tunjangan dari pemerintah, dan kau pasti tak ingin itu terjadi. Kedua, bahkan meski kau sangat membenciku hingga ingin membunuhku, kau tak perlu turun tangan sendiri. Orang yang menculik kita dapat melakukannya untukmu."

Matthew mengangkat bahu. "Baiklah, mungkin aku takkan membunuhmu, tapi itu tak berarti aku bersedia melewati sembilan jam bersamamu."

"Bahkan walaupun aku memiliki satu keuntungan yang tak kau miliki?"

Dia menelengkan kepala memandangku. "Apa itu?" tanyanya. Ekspresi wajahnya masih tak menunjukkan sikap bersahabat tapi matanya memancarkan keingintahuan, jadi aku tahu bahwa ucapanku membuatnya goyah. Aku dapat melihat kalau dinding yang dibangunnya di antara kami perlahan mulai retak.

Aku membalas tatapannya dengan penuh percaya diri, kemudian berkata, "Aku hafal denah sekolah ini."

Memories of a Name [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang