CHAPTER 01

30 15 3
                                    

×××

Malam ini begitu sunyi. Langit yang biasanya menampilkan sosok bulan yang terang dan bintang yang indah saat ini begitu hampa. Gadis bersurai hitam itu menatap ke atas langit, berharap akan ada bintang muncul. Namun tidak, bintang bahkan tidak mau menampilkan wujudnya. Membuat lengkungan senyum itu memudar. Bintangnya malam ini pergi. Apakah besok akan kembali?

"Belum tidur?"

Suara berat milik seseorang membuyarkan lamunannya. Gadis itu menatap ke arah pria paruh baya yang baru saja duduk bergabung bersamanya di balkon rumah. Pria berstatus pamannya yang bahkan sudah ia anggap seperti ayah kandungnya.

"Mau ke rumah sakit?" Pria itu mengangguk sebagai jawabannya. Kemudian mendongkak mengikuti arah pandang keponakannya, menatap langit yang gelap tanpa cahaya bulan maupun bintang.

"Kamu yakin soal keputusan kamu buat pindah sekolah?"

Gadis itu menoleh menatap wajah pamannya yang masih menatap langit. Dirinya tahu ada raut kecemasan yang terpancar dari wajah pria yang sudah memasuki usia kepala empat itu. "Navya yakin, om."

"Navya jujur sama om, kamu ada masalah di sekolah?" Tino bertanya menyerukan kecemasan yang sudah mengganggu kepalanya sejak keponakannya itu mengatakan ingin pindah sekolah.

"Navya gak ada masalah apapun di sekolah, om." Navya cuma pengen menyelesaikan sesuatu di sekolah lain.

Tino menghela napas berat. Sifat keras kepala Navya begitu mirip dengan Almarhumah adiknya—ibu Navya.

"Kalo gitu nanti om yang urus kepindahan kamu," ucap Tino akhirnya.

Navya mengulas senyum. "Makasih, om."

"Ohya, besok hari ulang tahunnya Dian. Navya boleh kan jagain Dian seharian, besok?" lanjut Navya bertanya dengan penuh semangat.

"Tentu boleh. Kamu jagain Dian, sementara om urus surat pindah kamu dan daftarain kamu ke sekolah baru sesuai mau kamu." Tino menjawab dengan senyum hangatnya. Mengangkat satu tangannya untuk mengusap pucuk kepala keponakannya.

"Sekali lagi makasih, om. Makasih karena om mau ngerawat Navya disaat Navya gak punya siapapun. Makasih untuk semua yang udah om lakuin, Navya janji gak akan pernah lupain segalanya."

Tino terteguh saat melihat binar sendu dari mata keponakannya. Itu begitu mengingatkannya pada wajah adiknya sewaktu kecil saat sedang merajuk. Ah, andai saat itu ia mencegah adiknya untuk pergi menjemputnya di bandara, kecelakaan maut itu tidak akan pernah terjadi.

"Ini udah malam, kamu tidur. Om mau pergi ke rumah sakit, kamu jaga diri baik-baik di rumah," kata Tino beranjak bangun.

"Om pergi dulu." Setelah itu Tino berlalu pergi.

Navya dapat melihat mobil hitam Tino yang berjalan keluar gerbang rumah. Dirinya beranjak bangun dan pergi ke kamarnya. Matanya memandang pada diary kecil berwarna biru di atas nakas samping tempat tidurnya.

"Gue janji akan nyelesaian semuanya. Karena itu, lo harus sadar. Karena ini gak akan selesai tanpa lo," gumamnya.

×××

Navya berjalan keluar dari toko bunga yang baru saja ia kunjungi. Bunga lily putih sudah berada di tangannya. Senyumnya mengembang saat ingat begitu sepupunya sangat menyukai bunga lily putih.

Hari ini adalah hari ulang tahun Dian untuk ke-17 tahun. Tidak berasa bahwa sudah hampir satu tahun sejak insiden kecelakaan yang membuat sepupunya itu koma. Dan sampai sekarang bahkan belum ada tanda-tanda bahwa Dian akan sadar. Navya hanya berharap untuk kesadaran sepupunya sekaligus sahabatnya itu.

InopinatumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang