9 ➸The Performance

1.3K 72 12
                                    

Agni masih terbengong saat mendapati Cakka yang berada di atas panggung dan tersenyum ke arahnya meskipun sekilas.

"Dia itu bukannya temen lo, ya, Ag?" Tanya Via yang menyadarkan Agni dari bengongnya.

"Hah?!"

"Cakka. Tadi bukannya lo duduk di sini bareng dia terus, kan?" kata Via. Agni mengerjap lantas ia mengangguk.

"Lo kenal sejak kapan? Udah akrab banget kayanya. Gue aja baru tau kalo ternyata dia anak baru di sini," kata Via lagi. Mendengar pertanyaan itu Agni sedikit meringis. Ia terlihat berpikir sejenak. Ia tidak mungkin menceritakan kejadian itu.

"Gak tau, Vi. Lupa. Udah hampir sebulan kali dia di sini. Lagian lo juga sibuk mulu, kan, dari dua bulan lalu? Makanya lo baru tau," ucap Agni beralasan. Sivia yang merasa ucapan Agni memang benar hanya memiringkan kepalanya sejenak lantas kembali beralih pada panggung.

"Oke, mungkin di Pelita Bangsa ini masih ada beberapa yang belum kenal gue. So, inilah Cakka."

Dengan pedenya, Cakka memperkenalkan dirinya di atas panggung. Kedua tangannya terlentang menunjukkan bahwa dirinyalah yang bernama Cakka. Sedetik kemudian, para pelajar puteri pun berteriak dan bertepuk tangan. Berbagai macam teriakan dan segala macam pertanyaan terdengar. Mulai dari pertanyaan nama lengkapnya apa? Kelas mana? Kamar nomor berapa? Hingga pacarnya siapa? Cakka hanya tersenyum mendengarnya. Senyuman andalannya itu begitu memikat seluruh penjuru ruangan.

"Well, kalo kalian mau tau nama lengkap gue, sometimes kita bisa kenalan langsung, may be?" kata Cakka seolah sengaja ingin memancing berbagai reaksi heboh para pelajar puteri saat itu.

"Mm, kalo kelas gue... Lo tanyain aja sama anak XI IPS 1! Mereka-mereka itu pasti tau gue kelas mana!"

Cakka menunjuk segerombolan anak-anak di deretan paling belakang. Sementara gerombolan itu terlihat bersorak, bersiul, dan bertepuk tangan serta mengacungkan jempol menanggapi ucapan Cakka. Tentu saja mereka adalah teman-teman Cakka di XI IPS 1.

"Kalo untuk kamar dan cewek, gue rasa itu privasi gue," ucap Cakka kemudian yang kali ini membuat suara-suara kekecewaan terdengar ke permukaan. Lantas Cakka kembali tersenyum.

"Well, this is a song for the special one that I know for long this time I've been here," ucap Cakka sambil tersenyum dan mulai memetik gitarnya. Riuh tepuk tangan kembali bergemuruh memenuhi ruangan. Dan Cakka pun mulai melantunkan sebuah lagu.


Standing close to me close enough to reach perfect time to tell her

But I can't even put two words together

Paralyzing eyes getting in my disguise

Can't you see me hiding?

What am I afraid of her finding?

I know what I'm thinking

But the words won't come out

If eyes could speak

One look would say everything

About the way you smile

The way you laugh

The way you dress

The way your beauty leaves me breathless

If eyes could speak I wouldn't have to talk

'

If Eyes Could Speak' milik Devon Werkheiser pun mengalun merdu dari atas panggung. Lagu bergenre jazz ini mampu menyihir siapapun yang ada di dalam ruangan saat itu. Entah itu karena melodi, lirik, atau mungkin kepiawaian Cakka sendiri yang mampu membawakan lagu ini dengan penuh penghayatan. Semua orang dibuat terdiam tenang dan menikmatinya.

Panah AsramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang