Prolog

896 115 24
                                    

Musim dingin nyaris berakhir ketika salju turun cukup lebat menyelimuti Kota New York, mengembuskan hawa dingin hingga kepul uap menjadi hal umum dijumpai kala napas berkelana di udara. Dingin yang menusuk persendian memaksa kedua tangan mendekap perut datarku, mengeratkan jaket tebal berbulu yang kukenakan. 

Hidung yang mulai berair membawa langkah semakin lebar menjauh dari Juilliard. Dalam otak hanya ada perintah untuk secepatnya tiba di rumah. Meringkuk di depan perapian dengan selimut yang membungkus tubuh dan cangkir berisi cokelat hangat dalam dekapan. Juga  merdu suara Wendy, saudara kembarku. 

Akan tetapi, anganku harus tertunda ketika gesekan biola mencipta alunan menyayat malam, menuntun langkah kaki untuk melenceng dari jalur pulang. Sebentar saja, begitu batinku kata ketika otakku memerintah 'tuk mengabaikannya. 

Semakin jauh melangkah, suara itu terdengar semakin nyaring bersama alunan pilu yang menjadi bumbu. Seolah menyampaikan pesan pada dunia bahwa sang violinist tengah bersedih. Dan di sana, di ujung tangga menuju stasiun kereta bawah tanah, pria itu kujumpai lagi. Si bibir mungil yang tak lagi asing di mataku.  

Bersama si jangkung ber-beanie hitam dan si pendek bertulang pipi tinggi, pria itu kerap kujumpai menjemput malam dengan pertunjukannya yang tak pernah gagal mengundang decakan kagum. Namun, ada yang sedikit berbeda malam ini. Mata tajamnya yang terbiasa menguarkan aura misterius, kini nampak terpejam. Tangan kanannya seringan bulu, menggesekkan bow dengan seluruh perasaannya, membawa pejalan kaki larut dalam alunan menyayat yang ia cipta.  

Sebuah alunan magis yang mengantarkanku larut dalam luka dan pemberontakan yang melebur dalam melodi. Dan untuk pertama kalinya sejak semesta menggores luka, aku kembali menemukan alasan untuk melanjutkan hidup. 




Thanks for reading, vote, and comment. See you next part :) 

With love, Ara

RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang