Kafetaria kampus penuh siang itu. Hampir seluruh kursi berisi mahasiswa dengan nampan makan siangnya. Dari depan pantry yang menyediakan sup hangat, seorang gadis berkemeja biru muda yang dilapisi vest rajut abu-abu dan navy trench coat, melongok berulang kali. Berharap menemukan satu bangku kosong untuknya.
Kaki jenjangnya melangkah perlahan, menghampiri sisi kanan kafetaria. Tempat itu biasanya cukup sepi. Penghuni yang mayoritas mahasiswa tingkat akhir lebih mementingkan latihan daripada makan siang.
Namun, tidak hari ini. Seluruh kursi terisi. Obrolan panjang pun turut meriuhkan tempat itu.
"Sial!" umpatnya pelan sembari melirik arloji di pergelangan tangan. Istirahat makan siang hampir berakhir.
Ia bergerak menjauh. Lehernya dijenjangkan untuk memeriksa kursi kosong sekali lagi, hingga teriakan mengalihkan perhatian gadis dengan rambut bergelombang itu.
"Jeslyn!"
Jeslyn memutar tubuh, menoleh pada sumber suara. Di ujung ruangan dekat mesin minuman, seorang pria berkulit tan melambaikan tangan. Satu tangan yang lain menunjuk kursi di depannya, di samping gadis berambut blonde yang meringis konyol dengan sendok dalam gigitan.
"Kemarilah!" ujar pria itu nyaring menarik perhatian.
Ia mendekat dengan berat hati, mengabaikan beberapa pasang mata yang masih mengikuti langkahnya. Kursi berwarna hijau itu ia tarik cukup kasar, lalu nampannya ia letakkan hati-hati ke meja. Sedangkan tas hitamnya ia jatuhkan ke lantai.
Mengabaikan senyum lebar dari pria di depannya, Jeslyn meraih sendok. Sup yang masih mengepulkan uap ia hirup aromanya. Hanya sebentar. Sebelum melahapnya, menyesapi setiap cita rasa yang menyapa lidah.
Mata amber-nya berbinar terang. Ini sup terlezat yang pernah ia rasakan selama hampir tiga tahun menjadi mahasiswa di kampus seni bergengsi itu. Bahkan lebih lezat dari masakan bibi Violla—koki kafetaria di senior high school-nya dulu—atau masakan Danny, koki Breads yang olahannya dipuji banyak orang.
"Jes." Si rambut blonde memanggil dengan ragu.
Mengusik Jeslyn saat makan sama halnya belajar menjadi orang gila. Bicara tanpa tanggapan. Namun, saat bertemu makananlah mood terbaik Jeslyn. Bila beruntung—meski dengan perbandingan 1:100—gadis itu bisa bercerita panjang lebar hingga membongkar rahasia terbesarnya sekalipun. Sekontradiktif itu memang.
"Kenapa?" Jeslyn melirik sekilas saudara kembarnya yang hampir memekik girang mendapati panggilannya berbalas.
"Sebelumnya berjanjilah untuk tidak mengalihkan pembicaraan seperti biasanya."
Jeslyn mengerutkan alis. "Tergantung."
"Oh ayolah."
Gadis beralis tebal itu mengangkat wajah, mempertemukan pandangannya dengan iris gelap milik pria berkulit tan di depannya yang baru saja mencuri cookies cokelat, sebelum beralih pada Wendy. Diamatinya Wendy yang menatapnya dengan raut penuh permohonan.
"Berhubung aku menemukan makanan lezat ...." Jeslyn menggantung kalimatnya, sementara Wendy melebarkan senyum. "Kau bebas kali ini. Mengocehlah. Aku tidak akan melantur."
Memang, Wendy Anderson adalah tipikal gadis yang bisa berbicara dari pagi sampai pagi—selama yang mendengarkan kuat. Dan Jeslyn tidak suka itu. Ia tipikal orang yang jarang bicara, tapi kasar sekalinya buka mulut. Terlebih dengan orang yang membuatnya tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rendezvous
General Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Setiap pertemuan menyimpan makna. Begitu pun pertemuan Jeslyn si calon balerina dan Shane si musisi jalanan. Berawal dari gesekan biola yang menyayat malam, pertemuan keduanya menghadirkan sisi lain dari diri mereka. Bagi J...