02. Stasiun Kereta Bawah Tanah

403 76 23
                                    

New York menggigil malam itu. Salju kembali turun sejak petang. Dingin yang menembus permukaan kulit memaksa pejalan kaki melebarkan langkah untuk segera sampai ke tempat tujuan sembari mengeratkan jaket tebal. Membungkus tubuh serapat mungkin.

Namun, tidak dengan pria berambut hitam itu. Jaket putihnya dibiarkan terbuka. Tangannya tanpa pelindung, begitu pun dengan kepala dan telinganya. Tubuhnya bersandar pada dinding flat dengan sebatang rokok terselip di bibir. Sesekali ia tenggelam dalam kepul asap yang menghilang ditelan gelap malam. Sesekali pula ia melongok ke atas, ke arah anak tangga di sisi kiri tubuhnya, lalu mengumpat dalam hati mendapati lampu yang berkedip-kedip sepanjang waktu.

Selama empat tahun tinggal di sana, belum sekalipun lampu itu diganti. Setiap kali ada yang mengeluh, jawaban pemilik gedung selalu sama, akan diganti kalau sudah mati dan jangan meminta fasilitas lebih.

Wajar saja mengingat tempat tinggalnya yang jauh dari kata mewah. Hanya bangunan tua lima lantai dengan harga sewa murah. Soal penghuni, tidak perlu ditanya lagi karena sejumlah unit di lantai lima tak ditempati. Tentu saja, siapa yang mau tinggal di bangunan dengan atap yang selalu bocor saat turun hujan?

Kecuali orang dengan penghasilan pas-pasan, mungkin tidak ada yang mau menjamah tempat itu. Apalagi New York adalah kota besar dengan bangunan pencakar langit di setiap sudutnya. Apartemen dengan fasilitas lengkap dan lebih modern mudah ditemui.

Pria itu kembali menghisap rokoknya kuat-kuat saat kegaduhan terdengar dari arah tangga. Batang rokok yang masih lumayan panjang ia buang sembarangan, lalu menoleh pada sumber suara.

"Lima menit tiga puluh detik," keluh pria itu menyambut kedatangan dua temannya. Mata tajamnya terpaku ke layar ponsel. "Cepat sedikit. Kita sudah terlambat!"

Dua pria dengan jaket hitam itu saling bertukar pandang. Diikutinya punggung tegap yang bergerak semakin menjauh. Pria muda yang bossy dan tak suka basa-basi. Tak pernah berubah sedikitpun sejak pertemuan pertama mereka empat tahun lalu.

Ya, waktu itu saat puncak musim panas di Kota New York. Sekitar pukul 6 sore ketika Devan dan Loey—si jangkung—menemukan pria muda seumuran mereka nyaris tak sadarkan diri di gang sempit tidak jauh dari stasiun kereta bawah tanah. Parasnya yang putih bersih terlihat pucat. Sedangkan perutnya bersimbah darah karena luka tusuk.

"Aku belum mau mati. Selamatkan aku," pintanya kala itu dengan suara putus-putus bernada tegas nan angkuh.

Entah apa penyebabnya dan siapa pelakunya, hingga detik ini mereka tak pernah tahu. Bahkan kata terima kasih pun tak mereka dapatkan dari pria di depan sana.

Namun ajaibnya, baik Devan maupun Loey tak ada yang berniat mengusir pria muda berambut hitam itu saat kondisinya membaik. Alasannya empati. Sebab keduanya sudah lebih dulu merasakan kerasnya hidup di New York.

"Shane!" panggil Loey. Jaraknya ia pangkas dengan setengah berlari. Begitu pun Devan yang mengikuti di belakangnya. "Aku tidak melihatmu seharian tadi, kau ke mana saja?"

"Jangan bilang kau ...." Devan menimbang-nimbang. Sedikit ragu untuk melanjutkan kalimat meski pada akhirnya tetap ia suarakan. "Mengunjunginya lagi."

"Hm." Satu lagi yang tak berubah dari Shane, irit bicara. Suaranya terlalu mahal untuk bisa didengar banyak orang.

"Kali ini apa lagi alasanmu? Benar-benar tertarik dengannya atau masih bermimpi bisa masuk Juilliard?" tanya Loey penasaran. Pasalnya ini bukan kali pertama Shane mengunjungi kampus seni itu.

Shane tak acuh. Bibirnya tetap merapat, mengabaikan Devan yang menanti jawaban serta Loey dan rasa penasarannya.

Jika ditanya apa dia tertarik dengan gadis bermata amber itu ... Shane tak tahu pasti. Sekilas, ia seperti melihat dirinya sendiri dalam wujud perempuan setiap kali mendapati tatapan dingin dan wajah serius gadis itu. Namun, rasanya masih terlalu dini untuk melibatkan perasaan.

RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang