Pelik

7.2K 333 3
                                    

Sudah beberapa hari ini aku kehilangan semangat. Segala pekerjaan yang biasanya kutangani sendiri kini telah kuserahkan sepenuhnya pada Tari, juga Damar selaku HRD.

Aku tetap datang ke kantor, tapi hanya sekadar duduk di balik meja, memangku kepala dengan tangan, menatap kosong ke layar komputer yang bahkan tak kumainkan. Tak ada urgensi. Tak ada dorongan. Seakan ambisi yang selama ini kubangun runtuh begitu saja.

Bahkan ketika berpapasan dengan Tari, aku tak lagi menegurnya seperti biasa. Tak ada teguran, tak ada komentar soal pekerjaannya, tak ada tatapan tajam yang selama ini selalu kuberikan padanya.

Aku tahu ini kesalahan. Aku tak tahu apa yang terjadi denganku. Tapi entah mengapa, semuanya terasa ... tak penting lagi.

Aku juga tak peduli jika Asyifa akhirnya melaporkan tindakanku pada ayahnya. Jika ayahnya marah, jika perusahaan ini goyah, jika segalanya berantakan—aku tak peduli.

"Pak?"

Suara lembut itu menyadarkanku. Tari sudah berdiri di hadapanku, kepalanya sedikit miring, meneliti ekspresi wajahku dengan sorot mata penuh tanya.

"Kamu? Kalau masuk seharusnya—"

"Saya sudah mengetuk pintu beberapa kali, Pak. Tapi Bapak tidak menyahut." Ia tersenyum kecil, tapi tak ada kesan menggampangkan. "Maaf kalau saya lancang masuk sebelum diizinkan. Ini, ada beberapa berkas yang harus Bapak tandatangani."

Ia meletakkan beberapa dokumen di atas mejaku.

Aku menatap kertas-kertas itu sekilas, lalu bergumam, "Ya, akan saya tandatangani."

Tapi tanganku tak juga bergerak meraih pena. Aku hanya menghela napas panjang, menatap kosong, seakan energi di tubuh ini terkuras habis. Bahkan untuk sekadar menyuruh Tari keluar dari ruangan, aku tak sanggup.

Perempuan itu tetap berdiri di sana, seolah menungguku berkata sesuatu. Lalu, dengan suara lembut, ia berkata, "Semua pasti ada hikmahnya, Pak."

Aku terdiam.

"Maaf kalau saya lancang," lanjutnya, "tapi ... saya tahu apa yang Bapak rasakan."

Kenapa dia bicara seperti itu?

Kenapa dia berusaha peduli pada seorang bos yang selama ini tak pernah memberinya sedikit pun kelembutan? Seorang atasan yang selalu membentaknya, menyusahkannya, mengekangnya dengan segala aturan?

Seharusnya dia membenciku. Seharusnya dia dendam pada Andra yang telah bersikap semena-mena. Namun, tidak. Suaranya tetap tenang, sorot matanya tetap lembut.

Aku tak merespons. Hanya ada sesuatu di dadaku yang tiba-tiba terasa lebih ringan.

Tari menunduk sedikit, memberi salam, lalu berbalik menuju pintu. Tapi sebelum tangannya menyentuh kenop, aku tiba-tiba bersuara.

"Tari!"

Langkahnya terhenti. "Iya, Pak?" sahutnya pelan.

Aku menatap punggungnya sesaat, lalu menguatkan diri untuk berkata, "S-saya minta maaf."

Ia menoleh. Matanya sedikit membesar, tapi tak ada keterkejutan berlebih di sana.

Kemudian, bibirnya melengkung dalam senyum yang sama seperti yang selalu kutemui. Senyuman yang entah bagaimana ... terasa begitu menenangkan. Seolah ada sesuatu yang hangat menjalar di relungku. Seolah dia memiliki sihir yang bisa meredakan badai di kepalaku. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, aku merasa tidak sendirian.

"Halo, Pak Andra. Ini saya, Pak Budi. Saya mohon maaf sebelumnya, tapi saya ingin memberitahukan bahwa saya terpaksa membatalkan kerja sama kita terkait proyek pembangunan ini."

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang