PROLOG

23.9K 715 3
                                        

"Andra! Jadi, pekerjaanmu selama ini cuma tukang parkir?!" Nadia melontarkan kata-kata itu dengan nada yang penuh kejutan, seolah-olah dunia yang kukenal tiba-tiba hancur di depan matanya.

"Nadia?! Nadia, kamu ngapain di sini?! Aku ... aku ...." Aku terdiam, kata-kataku tercekat di tenggorokan.

Dengan gugup, aku mencoba meraih lengan Nadia—kekasih yang sudah lama ada dalam hidupku, yang selalu menemani setiap hari-hariku tanpa pernah tahu betul apa yang kulakukan untuk bisa mencukupi kebutuhan hidupku.

Namun, Nadia menghindar. Ia menjaga jarak, wajahnya menampilkan ekspresi yang jelas-jelas mengatakan bahwa ia tak bisa menerima kenyataan ini. Keningnya mengerut, dan tatapannya penuh kebingungan dan keterkejutan. Aku tahu, ia tak bisa menerima bahwa kekasih yang selama ini ada untuknya ternyata hanyalah seorang tukang parkir, pekerjaan yang begitu jauh dari bayangannya tentang diriku.

"Jangan dekat-dekat. Jangan mendekat! Gue nggak mau tangan kotor lo menyentuh kulit gue. Malu-maluin lo!" Nadia membentakku dengan kasar, suaranya penuh kemarahan.

Setelah itu, dengan langkah cepat, Nadia berjalan pergi. Aku hanya bisa berdiri terpaku, seperti sebuah patung yang tak mampu bergerak. Tubuhku terasa kaku, hati ini pun terasa seberat batu, tak bisa berbuat apa-apa selain menyaksikan dia menjauh. Aku ingin berteriak, memohon agar ia tetap tinggal, tetapi suaraku hilang, terpendam dalam kesakitan yang semakin dalam.

Aku tahu betul siapa diriku. Aku tahu, pekerjaan ini tak akan pernah bisa memberiku kebanggaan seperti yang dia harapkan. Tapi aku mencintainya—dengan seluruh perasaan yang ada. Dari masa SMA, saat kami masih duduk di bangku sekolah, hingga dia melanjutkan kuliah di universitas ternama ini, aku selalu ada untuknya. Namun, aku tak mampu melanjutkan pendidikan tinggi, karena tak punya biaya. Mungkin aku memang ditakdirkan menjadi orang yang serba cukup, tapi selalu berada di luar harapan orang-orang seperti Nadia.

Suatu peristiwa terberat yang pernah kualami di masa lalu telah meninggalkan luka yang mendalam, membuatku trauma pada segala bentuk hubungan romansa. Sejak saat itu, aku memutuskan bekerja keras, melakukan apa saja untuk mengisi hari-hariku. Aku mengerjakan semua hal yang bahkan tidak bisa kulakukan sebelumnya. Hanya dengan kegigihan dan ketekunan aku mampu mengalahkan segala ego dan rasa malas yang selalu menghantui diriku. Aku berpikir Tuhan tidak akan pernah memberiku kelebihan, apalagi kekayaan yang melimpah.

Namun, pada suatu hari, aku mulai sadar bahwa aku perlu membuka lembaran baru. Aku memutuskan untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Aku mulai dengan berjualan buku, bekerja di rumah-rumah tetangga, menjadi sopir, bahkan tukang ojek. Semua aku jalani dengan tekad, meskipun harus mengurangi pengeluaran harian dan meminimalkan porsi makan. Aku hanya ingin bertahan dan mencapainya.

Lambat laun, aku mulai berani berinvestasi, mencoba peruntungan dalam bisnis besar dengan segala risikonya. Bisnis properti adalah pilihan yang aku ambil. Setiap hari, aku berusaha tidak menyia-nyiakan kesempatan. Aku mengikuti segala macam seminar kewirausahaan dan pelatihan bisnis, mencari ilmu yang dapat membantuku berkembang di bidang yang aku geluti.

Tujuanku kini adalah melampaui batas kemampuan diriku sendiri. Aku tidak lagi takut untuk menghadapi tantangan, bahkan ketika aku tahu risiko yang dihadapi semakin besar. Karena aku tahu, hanya dengan usaha keras dan tekad yang kuat, aku bisa mengubah nasibku.

"Andra ... maafin gue, maafin gue ...." Tangisan perempuan berambut lurus hingga punggung itu meledak, memecah kesunyian ruang kantorku.

Sementara air mata yang jatuh darinya seakan tak berarti apa-apa bagiku, aku justru mengalihkan pandanganku, menatap riuhnya kota yang terlihat dari balik kaca besar yang melapisi gedung ini.

Dia datang ketika aku sudah menjadi seseorang, mungkin seseorang yang kini pantas untuk dirinya. Namun, aku masih ingat bagaimana dulu ia bahkan enggan membiarkan tangan kotorku menyentuhnya. Kini, perempuan yang sama berdiri di depanku, mengemis maaf dengan begitu banyak penyesalan, seolah menanggung beban yang tidak pernah ia duga.

"Saya sudah memaafkanmu," kataku datar, tak ingin lagi terjebak dalam emosi yang tak berguna.

"Jadi, kalau begitu, kita bisa—"

"Tidak," potongku tegas, menahan segala perasaan yang bergejolak. "Memberikanmu maaf bukan berarti saya juga harus menerima kamu sebagai kekasih seperti dulu," lanjutku, suaraku tetap mantap meskipun hatiku terasa kaku melihat sosok yang pernah sangat aku cintai kini hancur di hadapanku.

Tangisnya makin keras. Ia sudah mendapat maaf, tapi mengapa ia masih menuntut lebih? Aku tak paham.

Aku berjalan melewatinya, tak peduli pada isakan yang semakin pecah di belakangku. Tubuh rampingnya yang terbalut gaun brokat panjang biru muda itu tampak begitu indah, tapi aku sudah tahu, dia tidak lagi pantas untukku. Sekian lama aku mencari diriku sendiri, dan kini aku sadar siapa aku yang sebenarnya.

"Maaf, saya ada meeting hari ini. Seorang klien akan datang. Kamu bisa keluar melalui pintu ini," kataku sambil memutar kenop pintu dan membukakan pintu untuknya. Nadia menatapku dengan mata yang dipenuhi sesal dan kesal, tetapi aku tak peduli lagi.

Tubuhnya bergerak pelan, melewati pintu, dan akhirnya keluar dari ruanganku. Sebelum menutup pintu, matanya yang penuh kehancuran sempat menatapku, seolah mencari sedikit harapan, tetapi aku tak memberinya sedikit pun.

Tak ada kesempatan kedua untuk pengkhianat di mataku. Aku sudah memberi maaf, tapi itu tidak berarti apa-apa lagi. Kata maaf itu hanya seperti kata-kata yang mudah terucap, tetapi tak bisa menghapus segala yang telah terjadi. Semua itu hanya paradoks yang sewaktu-waktu akan terulang lagi.

Aku mungkin kini menjadi lelaki yang bergelimang harta, tetapi aku sadar, masalah tak akan pernah berhenti datang. Bahkan, masalah yang lebih besar menunggu di depan sana. Masalah yang akan menguji kesombongan dan keangkuhanku. Ketika harta ternyata mengalahkan kerendahan hati yang dulu pernah aku miliki, dan aku tahu, aku harus siap untuk itu.

-II-

I AM YOUR BOSSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang