BAB II Malioboro

32 5 9
                                    

Jam tangan Andre menunjukkan jam 8. Setelah kami semua puas berfoto-foto, kak Sarah menyarankan agar segera turun dan berkemas. 30 menit perjalanan turun dan aku masih saja tetap berjalan paling belakang. Kini mendampingi Jani yang sudah entah beberapa kali tergelincir saat turun. “Jangan tergesa-gesa.” Ucapku membantunya turun. “Sepatuku gak gigit, jadinya gini. Susah turun.” Keluhnya perlahan turun memegang tanganku.

Mentari sudah terbit sempurna di langit. Hawa dingin masih memeluk kulit. Aku baru sadar, pos tempat kami camping cukup luas dan indah, karena semalam aku tak keluar tenda. Aku berjalan mengitarinya mengambil spot-spot foto bunga Edelweiss. Suara Kak Sarah memanggilku “Nug, kemas ayo. Kita mau turun.” Aku berlari menghampiri dan langsung berkemas keril. Mengumpulkan sampah-sampah. “Bawa semua sampahnya.” Perintah Firman. Aku setuju dengannya, gunung bukan tempat sampah, jadi bawa kembali sampahmu.

Jam setengah 11 kami berjalan turun gunung, menyusuri hutan yang kemarin kami lalui. Aku dan Jani tetap paling belakang. Gadis itu sudah mengganti sepatunya dengan sandal gunung yang lebih menggigit di jalanan gunung. Tapi, tetap saja beberapa kali gadis itu tergelincir dan terjatuh. Wajahnya tetap semangat, seakan tak peduli berapa kali ia jatuh, karena ia selalu bangkit. Hal-hal yang membuatku semakin kagum dengan gadis gunung ini. Dia tangguh dan juga anggun dalam satu waktu.

“Istirahat, Jani.” Ucapku sambil duduk di batu.

Dia duduk di sebelahku mengeluarkan sebungkus coklat dari dalam tasnya. Dia membagi dua coklat itu, di berikannya padaku. Aku menerimanya dan langsung menelannya. Dia tertawa melihat coklat itu sudah habis dalam mulutku. Lalu dia menawarkan air minum dari dalam tasnya. Aku menerimanya, meneguk secukupnya. Lalu kami kembali jalan menuruni gunung. Di perjalanan turun aku terlalu banyak berhenti, Jani sabar menungguku. Sial, aku jadi malu padanya. “Tidak apa-apa, Nug. Kata kak Sarah, kamu baru pertama kali main ke gunung. Lain kali sudah mulai terbiasa kok.” Ucapnya memaklumiku yang kelelahan ini.

Di pos 3 terlihat teman-temanku yang lain sudah santai duduk di tanah, mereka sudah lama sampai, aku dan Jani baru sampai. Wajah mereka tersenyum jahil, kecuali Dimas yang memejamkan matanya. Andre berdehem-dehem ketika aku dan Jani duduk di antara mereka.

“Apasih.” Ucapku kesal dan berbisik karena duduk di dekan Andre
“Bakalan ada cerita nih. Hahaha.” Ucapan Andre menarik perhatian yang lain. Ah, sialan kau Andre.

Yang lain ikut tertawa-tawa kecil melihat Andre yang tertawa riang. Menertawakanku.

Mereka berjalan terlebih dahulu, aku masih lelah dan lebih memilih beristirahat lebih lama. Tampak Jani tidak ikut mereka, memilih istirahat mengikutiku. Rama, Dimas, Andre dan Kak Sarah berjalan terlebih dahulu. Firman sedang asyik menyapa beberapa temannya di tenda-tenda yang cukup jauh dari tempat aju beristirahat. Jani memejamkan matanya, membiarkan cahaya matahari menghangatkan tubuhnya.

Mungkin sekitar 10 menit istirahat membuat tenagaku cukup dan kembali berjalan. Tak terlihat lagi Firman di pos 3, mungkin sudah berjalan turun. Aku dan Jani kembali menuruni gunung ini.

Pos 2 dan Pos 1 kami berdua lewati, tak terlihat teman-temanku yang duduk beristirahat, hanya Firman yang sedang duduk di Pos 1.

“Cepat jalannya,Nug. Senang banget jalannya di lama-lamain. Hahaha.” Ucapan Firman membuat aku tertawa malu.

“Iya, ini langsung jalan kok.” Ucapku berjalan meninggalkan Firman di Pos 1.

“Yang lain di depan, ngga terlalu jauh.”

“Oke.”

Hari sudah mulai sore, kami sampai di basecamp. Aku langsung memesan minuman segar dan membeli beberapa gantungan kunci dan baju sebagai cendera mata. Jani duduk di teras kantor pendataan dengan 2 orang temannya, Dimas dan Rama.

SURAT-SURAT PETUALANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang