Setelah kepulangan mereka di stasiun lempuyangan, Jogjakarta menjadi hening bagiku. Sebenarnya aku tak langsung pulang saat itu. Aku duduk tidak jauh dari mereka. Aku ingin bersembunyi seperti perasaanku yang malu-malu untuk keluar. Setelah mendengar kereta mereka berangkat meninggalkan Jogja ke Jakarta seketika itu beberapa tetes air mata jatuh. Aku menghapusnya langsung, tak ada yang boleh tahu aku menangis.
Rama menjemputku di stasiun lempuyangan. Membawaku masuk ke kepompong kehidupan. Liburan yang menyenangkan telah usai, semesta yang menyenangkan itu telah dibubarkan. Kini aku kembali pada rutinitas Jogja.
“Dia menyukaimu.” Ucap Rama di kemudi motor.
“Tahu dari mana?” Balasku.
Rama tidak membalas, membiarkanku berpikir sendiri soal ucapannya tadi. Aku tidak bisa berharap yang tidak pasti seperti ini. Jika ia menyukaiku, kenapa diam saja?
Malioboro yang ramai, benakku hening, sepi, sunyi, hanya ada aku sendiri. Kerumunan itu bagaikan angin yang lalu lalang mencari jalan pulang. Aku sudah di rumah, tapi aku merasa rumahku sedikit tidak nyaman, seperti ada bagian yang hilang dari rumahku.
“Apa yang membuatmu menyukainya?” Ucap Rama datang membawa es campur untukku.
“Dia jujur terhadap perasaannya, Rama.” Balasku menerima es campur yang menyegarkan itu.
“Semua mereka yang menulis kau bilang sama.” Kini Rama sambil memasukkan es itu ke mulutnya.
“Dia beda. Dia langsung menuliskan apa yang dia rasakan. Saat itu juga.” Aku menatap es campur itu tapi belum selera mencicipinya.
Malioboro semakin ramai, aku dan Rama tidak banyak bicara setelah itu. Aku mulai mencicipi es campur yang sudah cair itu. Aku melihat Rama sedang menghembuskan asap rokoknya. Aku tak menyadari kapan dia menyalakan rokoknya. Kepulan-kepulan asap itu berkumpul di langit-langit Jogja, membuat hari dalam benakku mendung tanpa pernah hujan.
“Kita pulang yuk.” Rama berdiri menungguku untuk mengikutinya. Aku melihat ke arahnya. Tubuhnya yang tinggi menjulang, rambutnya yang rapi, wajahnya yang tampan. Sepupuku, sahabatku dari kecil ini sudah menjadi pemuda yang tampan. Tak heran saja beberapa temanku selalu menanyakannya.
Aku berdiri, lalu kami berjalan pulang. Kali ini benar-benar pulang. Ke rumah.
Di rumah, di kamar, aku merebahkan badan. Baru terasa pegal-pegal badanku, seperti biasa saat turun gunung. Tapi, ada satu hal yang tidak biasa kali ini. Tak perlu aku bicarakan, aku sedikit malu mengatakannya.
Dimas masuk ke kamarku, ah anak ini, dari mana saja dia, sejak pulang ke Jogja, aku tak melihatnya. Kini dia menyelonong saja ke kamarku. Wajahnya mengisyaratkan ada yang ingin dia sampaikan. Aku langsung duduk di kasurku.
“Ada apa?” Tanyaku langsung.
“Kamu tahukan, dia hanya sementara.” Pernyataan Dimas mengarah pada seorang yang entah di mana keberadaannya.
“Dia tak ada kabar, Dimas.”
Rama masuk tiba-tiba, wajahnya geram melihat Dimas.
“Keluar lu monyet.” Teriaknya pada Dimas.“Eh, kenapa, Rama?” Tanyaku kebingungan.
Dimas langsung bergegas dari kamarku. Menghilang di balik pintu itu. Aku bingung, ada apa? Apa sesuatu terjadi? Kenapa aku merasa seperti orang yang tak tahu apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT-SURAT PETUALANG
Teen FictionAku adalah rahasia sebaik-baiknya cinta Bersembunyi ketakutan di relung dada Namun, paling lantang keluar menjadi kata-kata Menyuratkan puisi untuk di nikmati sendirian saja -Anugrah Aku ingin pergi Namun ragu membuatku menunggu Kau datang, namun pe...