Aku tertidur menunggu pesan dari kontak yang kuberi nama “Penulis”. Apa dia kelelahan tadi malam tidak membalas pesanku. Entah mengatakan kalau dia sudah sampai di rumah, atau mengucapkan selamat malam padaku. Aku harap ia tak lupa membalas pesanku. Aku bangun dan langsung mengecek ponselku, belum ada balasan dari si “Penulis”. Apa dia belum bangun? Ini sudah pagi, dia tidak kuliah atau kerja? Ini Senin pagi.
Aku membuka ruang obrolan kami, secepat kilat balasan pesanku semalam masuk, aku langsung membaca pesannya. Ah, sial. Jani bodoh. Kenapa sih membaca ulang pesan yang bisa kau ingat. “Maaf, Jani. Tadi malam aku tak sempat membalas pesanmu. Hehe.” Isi pesan yang telah aku baca itu aku biarkan terbuka sedikit lama. Aku bingung hendak membalas apa. “Kamu kuliah? Kerja?” Pesan kembali masuk dan aku masih membuka ruang obrolan kami. Otomatis aku langsung membaca pesannya. Duh, apa yang dia pikirkan di seberang sana?
“Kuliah nih, hehe. Kamu?” Balasku seadanya. Otakku baru bangun tidur tidak bisa berpikir banyak.
“Aku sih masih libur kerja. Lebih tepatnya meliburkan diri. Wkwkwk” Jawaban pesan yang diakhiri dengan emoticon ketawa.
“Hahaha, bisa gitu ya? Aku siap-siap dulu ya. Ada kelas pagi.” Aku mencoba memberi jeda dan bersiap karena pagi ini aku memang ada kelas.
“Oke, Jani.” Balasannya dan hanya aku baca saja.
Aku kuliah di salah satu universitas negeri di Jogja. Sebagai mahasiswi semester 3 aku masih di sibukkan dengan tugas dan beberapa kegiatan kampus yang tidak memakan banyak waktu dan tenaga, maka dari itu aku masih bisa untuk sekedar mendaki gunung yang ada di Jawa Tengah, tidak mengganggu aktivitas perkuliahanku. Jumat sore pergi ke kaki gunung, Sabtu mulai mendaki, Minggu sudah turun dan langsung pulang ke Jogja dan Senin sudah bisa masuk kampus.
Namaku cukup banyak yang mengenal, sebagai mahasiswi yang mulai aktif mendaki gunung sejak semester 2 sekiranya 6 bulan yang lalu. Semua bermula karena Rama yang mengajakku. Aku, Rama dan Dimas seumuran, kami sama-sama kuliah di universitas yang sama, hanya beda jurusan saja. Rama yang awal mula mengajakku dan Dimas pun ikut-ikutan, dan jadilah kami tiga sepupu pendaki.
Bisa aku katakan, pendakian paling seru adalah pendakian terakhirku. Kami yang baru kenal di kaki gunung sudah akrab seperti sudah lama saling mengenal. Ya, walau aku sudah mengenal Firman semenjak SMA di Jogja, tapi teman-teman Firman juga saling terbuka untuk sebuah pengalaman dengan orang-orang baru. Dan “Si Penulis” sempat-sempatnya dia mengeluarkan buku saku untuk menuliskan apa yang ia rasa saat itu. Ingin sekali aku lihat bukunya, apa yang ia tulis di dalamnya, apa ada aku? Atau sekedar pengalaman barunya bersama kami. Tapi aku tahu, itu ruang pribadinya, ruang obrolan bagi dirinya sendiri.
Dulu, eyangku pernah mengatakan “Orang-orang yang menulis adalah orang-orang yang jujur, karena ia menuliskan apa yang hatinya rasakan, apa yang otaknya pikirkan dan apa yang matanya tangkap.” Aku selalu mencoba menulis, tapi kendalanya adalah aku tak bisa menguraikan apa yang ada di dalam hati, otak dan mataku menjadi kalimat-kalimat para penyair. Entahlah. Jika aku bisa bertemu dengannya lagi, aku akan minta dia mengajarkan aku menuliskan rasa.
Semenjak berpisah di stasiun, aku terus berharap dia akan ke Jogja, entah berlibur atau pekerjaan. Hanya menikmati Jogja satu malam saja tak cukup. Kau akan aku ajak berkeliling Jogja dan pastinya buku catatanmu penuh dengan cerita-cerita dari sudut-sudut Jogja. Dan satu hal lagi, pastikan ada aku di tulisanmu.
Pagi itu, aku pergi kuliah dengan motor. Kampusku tak terlalu jauh dari rumahku.
“Jani.” Suara itu cukup membuatku langsung menoleh, Sania.
“Apa lo.” Ucapku ketus.
“Ye, maaf dong. Gue ada coklat nih. Hehe.” Ucap Sania menyodorkan coklat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT-SURAT PETUALANG
Teen FictionAku adalah rahasia sebaik-baiknya cinta Bersembunyi ketakutan di relung dada Namun, paling lantang keluar menjadi kata-kata Menyuratkan puisi untuk di nikmati sendirian saja -Anugrah Aku ingin pergi Namun ragu membuatku menunggu Kau datang, namun pe...