BAB V Petualang yang Tersesat

18 4 0
                                    

“Fajar.”

Suara berasal dari belakangku, seorang gadis yang berlarian mengejarku, menyamakan langkahnya denganku.

“Ada apa?” Tanyaku.

“Tulang, suruh aku kawani kau.” Ucap gadis berdarah batak. Ucapan yang sudah 1 tahun ini selalu menghiasi telingaku jika aku berkeliling pulau ini.

“Aku sudah hafal.”

“Tulang yang suruh. Nanti aku di marahinya.”

Di sini, tulang yang dia maksud adalah seorang paman. Mereka memanggilnya Tulang, lebih tepatnya Tulang Joni. Kerabat dekat Ayahku. Sudah 1 tahun ini aku mengenalnya, tidur di rumah miliknya, makan dam minum di rumah itu.

“Aruna.”

Gadis itu menengadah menatapku karena perbedaan tinggi.

“Apa?” Tanya dengan logat batak.

“Kamu pernah nunggui orang yang sampai sekarang gak pernah ngasih kamu kabar.”

Aruna menelan ucapanku, lalu berpikir sebelum memberi komentar. Kini tatapannya jatuh pada tanah-tanah yang akan ia injak. Matanya berkedip lambat, jalannya mulai pelan. Ucapanku membawanya pada ruang waktu. Aku berhenti berjalan, langkah kaki Aruna tidak bertambah. Ia terpaku.

“Dulu. Saat aku masih di kota. Seorang laki-laki yang sangat saya sayangi. Hanya sebuah rasa yang pupus, maka dari itu, tak ada satu pun kabarnya saya terima secara pribadi.”

Mata gadis itu melihat ke arah langit, menyapu air matanya yang sempat keluar.

“Maaf.”

Gadis itu tersenyum padaku, seolah kesedihan yang baru saja terlihat olehku seketika hilang, hilang dari tubuhnya. Aruna berjalan mendahuluiku, “Ayo, Fajar.”

Aku mempercepat jalanku, menyamakan dengan langkahnya.

Mungkin dengan bercerita sedih, kau mampu mengurangi kesedihan itu. Tapi, sulit sekali mencari telinga untuk di tumpahkan cerita-cerita sedihmu. Ada pun mereka yang mendengar dan memberi pendapat atau nasihat yang memojokkan diri. Maka dari itu aku menulis, juga termasuk jika aku rindu sesuatu. Karena saat menulis, aku hanya menuangkan cerita atau kata-kata yang ada dalam kepalaku. Kertas-kertas itu hanya pasrah menerimanya. Kertas-kertas itu pun tak mungkin berpendapat apa lagi menasihatiku.

Tapi, Aruna mau membicarakan masa lalunya denganku. Sebuah kisah sedih yang pernah di alaminya. Aku kenal dengan Aruna sudah 1 tahun, gadis ini suka berbagi cerita padaku. Tak hanya kesedihan saja, tak jarang gadis bertubuh mungil dan berambut gonjes ini menceritakan hal-hal menyenangkan. Setiap ia bercerita, aku layaknya kertas putih dan ia tinta hitam yang sepuasnya mencoret-coretku, aku tak pernah keberatan.

Ada suatu masa, saat kami belum saling akrab. Aruna pernah bercerita tentang asal danau Toba, sebuah dongeng Aruna yang sampai saat ini aku ingat.

“Dulu danau ini sebuah kampung yang kaya raya. Tapi, orang-orangnya tamak dan serakah. Di perintahkanlah seorang yang punya kekuatan di atas gunung sana.” Ucapnya sambil mengarahkan telunjuknya yang lentik itu ke sebuah gunung. Pusuk Buhit.

“Seorang yang di bilang si “Raja Batak” untuk menenggelamkan kampung ini. Kampung yang luas dan kaya raya ini tenggelam bersama warga dan hartanya. Maka dari itulah danau Toba ini harta karun.” Lanjutnya menyelesaikan dongengnya. Aku mengangguk menerima ceritanya, walau di luar logika.
Melihatku mengangguk-angguk percaya dengan ceritanya, gadis itu malah tertawa. Seperti seorang kakak yang sedang menjahili adiknya. Tawanya membuatku mengerutkan dahi. Dia kemudian memperkenalkan namanya.

“Arunika Sihombing. Panggil Aruna.”

“Fajar Arjuno...”

“Oke. Fajar.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SURAT-SURAT PETUALANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang