Matahari tampak begitu elegan, terselimut awan putih nan megah. Di bawah pohon apel yang rindang, tampak seorang remaja dengan rambut hitam pekat dan bola mata yang agak sipit tengah tenggelam dalam lamunannya. Entah apa yang ada di pikirannya, tak ada yang dapat menebak. Pandangannya kosong, tapi wajahnya pucat.
"Ah, aku ingin sekali mengungkapkan perasaanku. Rasanya lelah banget nyimpan rahasia sekian lama!"
"Tinggal ngomong, apa susahnya?"
Dari atas pohon apel rindang itu, tiba-tiba muncul sosok lelaki berambut pirang yang berhasil mengagetkan jantung gadis remaja itu.
"Si ... siapa kamu?"
Lelaki yang menurut dia sangat tampan mempesona itu turun dengan lompatan yang indah dan pendaratan yang mengagumkan. Bagaimana tidak? Mata yang lebar dengan tatapan dinginnya, hidung mancung, dan wajah yang putih nan mulus berhasil membuat Nindy ternganga. Ya, gadis itu bernama Nindy. Dan laki-laki itu, entahlah. Mereka belum sempat berkenalan.
"Laki-laki yang aneh. Untung ganteng!"
Desir angin berlalu begitu saja, suara ringkihan sepeda dan beberapa motor menderu-deru menandakan sekolah mulai ramai. Matanya menyelidik, mengamati tiap anak yang masuk dari pagar sekolah. Terkunci! Ia mendapati sosok lelaki yang selama ini ia incar sejak SMP.
Jantungnya berdegup kencang. Meski hawa dingin menusuk tulang, ia tetap berkeringat. Wajahnya pucat, langkahnya gontai. Namun Nindy tetap memaksa melangkah mendekati lelaki berperawakan tinggi putih di depan pintu gerbang.
"Aku mencintaimu sejak SMP, Alan," ucap Nindy dengan masih menunduk, tak berani melihat wajah Alan dan bersiap ditolak.
Baru pertama kali mengenal cinta, pertama kali nembak, dan haruskah menjadi pertama kali ditolak dan dipermalukan di depan umum? Oh, tidak. Masa SMA yang baru dimulai, haruskah seberantakan ini? Tapi, ada yang aneh. Hening, tak ada jawaban. Tangan Nindy masih menarik sebagian baju milik lelaki di depannya.
Dengan berani, ia mendongak, penasaran dengan ekspresi Alan. Apakah tanpa ekspresi sama seperti saat ia ditembak oleh lusinan gadis lainnya?
"Maaf, kamu siapa?"
Nindy mematung. Bukan karena Alan tak kenal dirinya, bukan pula karena ia malu ditolak di depan umum.
"Ah, maaf!" Spontan Nindy melepaskan genggamannya. "Aku salah orang. Sekali lagi, maaf!"
Alan, berada tepat di depan lelaki itu dan juga melihat kejadian memalukan itu. Akankah ini menjadi akhir dari cinta pertamanya? Oh Tuhan, Alan pasti menganggapku wanita gampangan. Berakhir sudah!
Dengan langkah seribu, Nindy melarikan diri dari lingkaran memalukan. Di depan sana, ia mendapati beberapa anak baru tengah mengerumuni sesuatu. Papan pengumuman dan pembagian kelas. Ia kembali teringat kejadian memalukan barusan. Dari baju seragamnya yang masih putih bersih, ia pasti juga anak baru. Dan anehnya, sepertinya Nindy pernah melihat lelaki itu sebelumnya.
"Oh, shit! Dia kan lelaki apel itu! Ah, semoga kita tidak bertemu lagi!!" teriak Nindy, membuat seluruh anak baru menatapnya. "Ah, maafkan aku."
Kelas XB. Nindy berhasil menemukan namanya di bagian kelas XB. Matanya menyisir tiap nama di kelasnya, sampai ia berhenti di salah satu nama yang tertera di sana. Ada nama Alan. Bibirnya tersenyum simpul, manis sejenak. Namun tiba-tiba wajahnya pucat. Sepertinya ia tau, tak ada kesempatan untuk mendekatinya lagi. Dan yang lebih menakutkan, lelaki apel.
Setelah berwisata ria ke berbagai penjuru sekolah, akhirnya Nindy menemukan kelas XB. Aman, tidak ada lelaki apel. Ingin rasanya ia duduk di samping Alan, namun ia urungkan. Dengan berat hati, ia meletakkan tas miliknya di pojok kelas. Kebetulan di sana maskh kosong di kedua kursinya.
"Ha-hai Alan. Bagaimana kabarmu? Tidak disangka kita satu SMA, ya?"
"Iya." Satu kata? Tidak bisa lebih pendek lagi?
Demi apapun, Nindy merasa malu untuk kedua kalinya. Oh, ayolah, ini bukan Hari Malu Sedunia, kan? Ia pun pergi, duduk di kursi miliknya, menarik headset dan mendengarkan lagu kesukaannya. Hari ini cukup untuk membuatnya sakih hati bertubi-tubi. Ia bersandar di tembok, menyaksikan anak SMA berlalu lalang di lapangan basket. Ada beberapa anak memainkan bola sembari menunggu jam pelajaran dimulai.
"Maaf, boleh saya duduk di sini?"
"Iya," jawab Nindy singkat tanpa memalingkan wajahnya. Ia enggan bicara dan melihat siapa pemilik suara seksi di sampingnya.
Guru datang lebih cepat dari yang diduganya. Ia pun mencabut headset dan mulai memandang sekeliling.
"Lelaki apel!! Kenapa kamu di sini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The White Ice
RomansaNindy, seorang gadis periang, blak-blakan, namun sangat amatir dalam urusan cinta. Nindy sangat berterimakasih pada SMP tempat ia belajar dulu karena telah mengenalkannya pada cinta pertama, seorang pebasket handal yang digemari banyak wanita. Tetap...