BERSYUKUR

49 2 0
                                    

Aku tersenyum ke arah gadis kecil di depanku. Aku belum tahu siapa namanya.

"Nama kamu siapa sayang?"

"Putri."

"Ibu Putri kerja apa?"

"Ibu kerja jadi pemulung."

"Kalau ayah Putri?"

Putri hanya menggeleng dengan bibir yang agak maju.

Aku gemas melihat tingkah anak itu. Tapi, dibalik rasa gemasku. Aku merasa tersentil dengan kenyataan bahwa Putri tidak tau ayahnya. Apalagi yang harus aku keluhkan saat aku melihat anak kecil di depanku ini? Hidupku jauh lebih baik dari pada gadis kecil ini.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Walaupun sebenarnya aku tengah berusaha menahan bendungan air mata di mataku.

Aku melihat ada warteg di dekat tempatku sekarang.

"Putri, kita kesana yuk. Anterin kakak beli makanan." kataku sambil menunjuk ke arah warteg.

Putri hanya mengangguk. Sebenarnya berbahaya bagi gadis sekecil Putri jika terlalu mudah akrab dengan orang asing. Bagaimana kalau nanti yang mengajak Putri pergi adalah seorang penculik? Kan berbahaya.

Kami berdua melangkah menuju warteg. Sampai disana aku memesan makanan dua bungkus.

Setelah mendapatkan pesananku, aku membayarnya, dan berjalan keluar Bersama Putri.

"Putri kakak mau ngasih tau Putri sesuatu."

Aku dan Putri berhenti berjalan. Aku berjongkok di hadapan anak kecil itu.

"Putri kalau diajak jalan sama orang yang nggak Putri kenal, Putri jangan langsung mau ya. Kalau orang itu nggak baik gimana coba?"

Putri hanya menganggukkan kepalanya.

"Putri enggak ikut ibu kerja emangnya? Kenapa sendirian?"

Anak sekecil ini ditinggal sendiri, terlalu berbahaya menurutku.

"Putri udah mau bantuin ibu. Tapi, nggak boleh sama ibu. Katanya Putri masih kecil. Jadi Putri disuruh di rumah aja."

"Rumah Putri dimana emangnya?"

"Di deke halte itu kak."

"Kakak anterin pulang yah? Kan udah mau gelap."

Putri hanya mengangguk.

Sampai di rumah Putri, tenggorokanku lagi-lagi tercekat. Air mataku memaksa ingin keluar, tapi kutahan sebisa mungkin.

Yang putri sebut rumah adalah susunan kardus yang terbentuk seperti rumah.

"Ayo kak masuk."

Aku tersenyum ke arah gadis kecil itu. Gadis yang tegar menghadapi dunia yang terlalu keras untuk dijalani oleh dia.

"Kakak nggak bisa, Putri. Kapan-kapan aja ya? Kan ini udah mau malem. Nanti kakak dimarahin sama ibu kakak kalau pulangnya malem-malem."

Putri hanya mengangguk.

Aku langsung menyerahkan dua bungkus nasi yang ada di tanganku kepada Putri.

"Buat makan malem Putri sama ibu."

Putri tersenyum menerima makanan itu.

"Waah, makasih kak. Nama kakak siapa? Putri kan belum tau."

"Panggil aja Kak Pelita."

Putri mengangguk dan tersenyum ke arahku.

"Kakak pulang dulu ya. Putri hati-hati di rumah. Jangan keluar malem-malem."

Putri mengangguk lagi.

Perlahan aku melangkah meninggalkan tempat tinggal Putri. Banyak pelajaran yang bisa kupetik hari ini. Bahwa aku harus lebih bersyukur dengan yang aku miliki. Bukan hanya mengeluh dan selalu merasa kurang.

Di Atas AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang