Yang memberiku luka-luka dan memar ini

24 3 1
                                    

Rumahku. Siksaan yang sebenarnya. Inilah alasan mengapa aku punya memar dan luka disekujur tubuhku. Aku hidup dengan kakekku. Jika kamu menanyakan, apakah kakekku yang melakukan ini semua? Tidak, bukan beliau yang melakukannya. Tapi ayahku. Ayahku tinggal berjarak 45 menit dari rumahku dan aku pikir ayahku tinggal cukup jauh hanya untuk datang kemudian memukul dan menendangku.

Aku berbaring diatas tempat tidurku kemudian menutup mataku, mencoba mengingat semua kejadian yang telah terjadi dihidupku, kesepianku, memar-memarku, luka-lukaku, dan dompetku yang kosong. Tapi hal yang paling aku khawatirkan adalah dompetku yang kosong. Uang. Uang. Darimana aku bisa mendapatkan uang?

Aku bekerja disalah satu toko es krim diujung jalan. Mereka membayarku sedikit terlalu banyak hanya untuk berdiri di mesin kasir dan membersihkan meja. Dengan gaji itu, aku belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hariku dan kakekku. Oh ibu dari segala ibu, kepalaku pusing memikirkan ini.

Aku sedang meletakkan jari-jari di pelipisku dan memijatnya, mencoba untuk menyingkirkan sakit kepala ini ketika aku mendengar seseorang mengetuk pintu depan rumah kami. Itu pasti iblis yang menyebut dirinya sebagai ayahku.

Coba tebak, ternyata aku benar. Sekarang dia membanting pintu kamarku dengan seluruh kekuatannya.

Aku bangun dari tempat tidurku dan langsung mendapatkan pukulan diwajahku kemudian ayahku menendang perutku hingga membuatku terjatuh. Aku meringkuk dilantai dan melindungi kepalaku menghindari tendangan. Ayahku menendangku hingga tak tehitung kemudian dia menarik kerah bajuku dan membanting diriku ke tembok. Aku langsung tak sadarkan diri setelah kepalaku memberntur tembok.

Aku terbangun dan merasakan sakit kepala dan nyeri luar biasa disekujur tubuhku. Aku tidak ingat kapan ayahku berhenti memukuliku, aku hanya ingat ketika ayahku membantingku ke tembok dan kemudian tak sadarkan diri. Aku memaksakan tubuhku untuk berdiri dari lantai dan berjalan menuju kamar mandi. Aku melihat memar disana sini, hidungku berdarah, meinggalkan bekas darah kering diatas bibirku. Aku mengambil tisu dari atas meja kemudian menyeka bekas darah kering dari hidungku. Setelah selesai membersihkan hidungku, aku melepas semua pakaianku dan menyalakan shower, membiarkan air hangat membasahi tubuhku yang penuh memar dan bekas luka.

Setelah mandi, aku berdiri didepan cermin dan mengobati seluruh lukaku. Mengoleskan concealer untuk menutupi memar-memar sehingga orang-orang tidak bisa melihatnya. Luka-luka dan memar ini sangat mneyakitiku. Air mata mengalir dari mataku dan membasahi pipi. Aku menangis bukan karena rsakit ditubuhku, namun karena ayahku yang menyebabkan ini semua. Ayah kandungku. Aku duduk terpaku dilantai, memeluk kakiku erat dan menyandarkan kepalaku dilutut, dan menangis hingga semua tenagaku habis. Aku lelah hidup seperti ini ; dilecehkan, dipukuli, memar, babak belur, tidak punya tenaga, lemah, dan menangis dalam diam seperti ini.

Aku memaksa diriku bangun dari lantai dan menyeka air mata dipipiku, mencoba untuk mengembalikan jiwaku yang lemah. Aku sedang mengoleskan concealer diwajahku ketika aku mendengar truk kakekku tiba didepan rumah. Aku berjalan turun untuk menemuinya.

"Hai, kakek."

"Hai, bagaimana harimu di sekolah, Eileen?" Beliau memasuki rumah lalu meletakkan peralatan kebunnya disamping pintu masuk.

Kakekku memiliki kebun bunga diujung jalan. Terkadang, kita menjual bunga yang bermekaran untuk mendapatkan uang tambahan. Sayangnya, bunga-bunga tidak bermekaran setiap hari.

"Baik." Aku berkata seraya menuangkan kopi ke cangkir untuk kakek.

"Menemukan teman baru?" Kakek selalu menanyakan ini setiap kali aku bertemu dengannya sepulang sekolah.

"Tidak." Aku meletakkan secangkir kopi dihadapan kakekku. "Tapi ada teman satu kelasku yang meminta kertaas padaku."

Kakekku tahu kalau aku tidak bisa bersosialisasi dengan orang lain, terutama dengan anak-anak seusiaku.

Battered and Bruised (Versi Bahasa Indonesia)Where stories live. Discover now