DUA BELAS

34.9K 1.8K 262
                                    

Le Garden Cafe. VIP 10 am. Come alone!

Isi pesan Fara untuk Livia setelah ia memutuskan untuk menemui wanita itu. Ia menekankan padanya untuk datang sendirian karena bukan tidak mungkin Livia mengajak Andra. Ia sedang tidak ingin bertemu, setidaknya sampai hatinya benar-benar siap untuk menyelesaikan apa yang telah pria itu mulai.

Livia menguatkan hatinya untuk menemui Fara. Ia siap dengan segala resiko yang akan terjadi. Mungkin nanti akan ada sumpah serapah atau jari-jari yang melayang menghiasi pipi mulusnya. Ia mengerti Fara punya lebih dari segudang kemarahan dan tidak akan begitu saja mau bicara baik-baik dengan dirinya. Apapun yang akan terjadi, ia sudah menyiapkan diri.

Ia menaiki mobil pemberian ibu mertuanya menuju sebuah kafe yang dijanjikan oleh Fara. Ia tinggalkan urusan butik terlebih dahulu. Lagipula, sudah seminggu ini ia tidak menyambangi butik sama sekali karena kerepotan mengurus Andra.
Untunglah kandungannya tidak apa-apa. Layaknya ibu hamil yang lain, ia pun mengalami morning sickness yang cukup parah tetapi tidak menganggu aktivitasnya sehari-hari. Justru ia kasihan pada suaminya. Lelaki itu mengalami mual muntah yang cukup ekstrim walaupun kondisi lambungnya sudah mulai membaik pasca keluar dari rumah sakit.

"Aneh, kok kalian ngidamnya bisa kompakan gitu ya?" Celetuk Rani keheranan melihat anak dan menantunya berlomba mengeluarkan isi perut. Ia maklum, terkadang suami pun ikut mengalami mual-mual seperti ibu hamil walaupun kasusnya tidak seberapa banyak.

Livia hanya tersenyum menanggapi. "Mungkin baby nya spesial, Ma."

Rani terkekeh sambil mengelus perut Livia. "Cucu oma jangan nakal ya, kasihan mama dan papa."

Hatinya pun menghangat. Ia diperlakukan layaknya anak sendiri oleh Rani. Adik-adik Andra pun dekat dengannya meski keduanya kuliah di luar kota dan hanya pulang seminggu sekali. Ketika mereka datang, ia menyempatkan hangout bareng dengan adik-adik iparnya, Nia dan Tari.

Livia memasuki kafe dengan hati berdebar. Pelayan cafe mengantarkannya ke sebuah ruangan VIP yang telah di pesan oleh Fara sebelumnya. Detak jantungnya tidak karuan.

Bismillah, Ya Allah!

Tepat pukul sepuluh, Livia mendengar bunyi detak sepatu yang mengarah ke tempatnya duduk. Ia mengangkat kepalanya dan memuji pelan dalam hatinya.

Masya Allah, cantiknya!

Pantas saja Mas Andra uring-uringan kehilangan Fara. Terakhir kali ia melihat wanita itu hanya melalui foto yang diperlihatkan oleh suaminya. Wanita itu terlihat anggun menggunakan tunik selutut berwarna putih dipadukan celana hitam yang membungkus kaki jenjangnya. Rambutnya yang ikal digerai panjang melewati pundaknya.

Fara menghempaskan bokongnya di sofa berwarna peach yang ada di depan Livia dan memandang dengan raut menilai perempuan berjilbab modis di depannya. Raut wajahnya datar walaupun dalam hatinya panas dingin.

Sebelum datang ke kafe ini, ia pun sudah menyiapkan mental. Tadinya ia enggan memenuhi undangan Livia sehingga mengabaikan pesan tersebut berhari-hari sampai rasa penasarannya menginginkannya bertindak lebih.

Keduanya terdiam cukup lama hingga Fara mengangkat cangkir kopinya dan menyesapnya perlahan. Sebenarnya ia tidak dibolehkan Julian meminum cairan berwarna gelap itu. Tetapi, saat ini ia membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan rasa gugupnya.

"Apa kabar, Mbak?" Livia terlebih dahulu memutuskan keheningan itu. Fara hanya menatapnya datar.

"Mbak tinggal dimana sekarang?"

"Bukan urusanmu!"

Livia menghela napas. Baiklah, sepertinya percakapan ini akan berlangsung alot.

Patah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang