EMPAT

29.5K 1.6K 8
                                    

Fara

"Om, bisa ke apartemen aku sekarang?"

"......."

"Makasih, Om."

Aku meletakkan ponsel di atas nakas dan menghela napas lelah setelah seharian berselancar di dunia maya, mencoba mencari identitas gadis yang dibawa suamiku kemarin sore. Sengaja ku blokir nomor ponsel Mas Andra agar tidak terus diganggu oleh lelaki tersebut.

Aku tahu suamiku tidak terlalu aktif di dunia maya dan tidak memiliki banyak pengikut. Aku mengikuti profil pengikut Andra satu persatu dan menemukan profil seseorang bernama @Livia_Mahesa dengan fotonya menggunakan gaun pengantin. Untung saja akunnya tidak di private sehingga ku bebas melihat isinya.
Aku terus menscroll foto-foto di akun tersebut sampai kemudian mataku membulat melihat foto seorang lelaki yang menjabat tangan lelaki lain.

Suamiku!

'Alhamdulillah, sah!' Caption foto tersebut.

Netra ku kembali berkaca-kaca. Dadaku sesak menahan perih. Aku mendongak menghalau airmata yang hendak turun tak terbendung. 'Kuat, Fara. Kuat!'

Kembali ku teruskan melihat foto-foto wanita tersebut dan mengambil beberapa screenshot lalu menyimpannya ke akun cloud pribadiku.

Ting tong.

Tidak lama kemudian, bel apartemenku berbunyi. Aku melangkah dengan malas untuk membuka pintu. Mau tidak mau harus ku buka, mengingat janjiku bertemu dengan om Ben, pengacara keluargaku sekaligus salah seorang sahabat papa yang dahulu juga mengurus legalitas beberapa bisnisku.

Ceklek.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Om." Jawabku lalu mengambil tangan om Ben dan menciumnya. Om Ben merangkulku dalam pelukannya dan mengecup puncak kepalaku. Pelukan seorang ayah, karena beliau selalu menganggapku seperti anaknya sendiri. Tiba-tiba aku merindukan papa.

"Tumben, om sendiri yang turun tangan?"

Om Ben mengendikkan bahunya. "Anak-anak sedang sibuk dan tidak ada yang kebetulan standby di kantor. Jadi om yang kesini. Apa kabar, Nak? Sudah lama kita tidak bertemu, ya?" Tutur om Ben panjang lebar.

Om Ben adalah salah satu sahabat papa. Sewaktu masih kecil dulu, kami sering dibawa om Ben dan Tante Diana, istrinya hangout di mall dan bermain di Timezone sampai bosan. Om Ben sangat royal dan tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang untuk mengikuti kami kemana pergi. Kami selalu dianggap berandalan-berandalan cilik kesayangannya. Om Ben hingga kini tidak punya anak kandung, hanya tiga orang anak adopsi, Kara, Hanif dan Satya.

Lama tidak bertemu membuat suasana begitu hangat. Terakhir kali kami bertemu lima tahun yang lalu saat pemakaman papa. Om Ben dan Tante Diana yang memeluk dan menenangkanku saat kehilangan papa.

"Jadi, ada apa kamu meminta Om datang kesini, Nak?" Tanya Om Ben sambil menyesap teh hangat yang ku hidangkan.

Tatapannya setengah menyelidik melihat rupaku yang berantakan. Sembab dimataku belum sepenuhnya hilang, sementara wajahku kuyu karena kurang tidur.

"Ah, a-aku, I don't know where to start, Om." Mataku kembali berkaca-kaca sedangkan tenggorokanku sesak.

Om Ben mengelus-elus kepaku. "Sshh, kamu tenang dulu, ya!"

Setelah beberapa menit menangis, aku menyusut air mataku. Sebelumnya aku telah berjanji tak akan menangis lagi, tapi air mata sialan ini terus turun tak terhenti.

"Fara mau minta tolong om, untuk menyelidiki seseorang." Kuberikan ponselku pada Om Ben yang menatapku dengan ragu. "I need to know everything about this woman. Her background, address, parents, education, her past, or anything. Could you?"

Om Ben kemudian keluar menuju balkon apartemenku untuk menelepon seseorang. Terdengar di telingaku beliau menginstruksikan ini dan itu yang tidak ku mengerti.
Tak lama setelah itu, beliau kembali duduk di sampingku dan menyerahkan kembali ponselku. "Kamu akan dapatkan informasi secepatnya."

Aku mengangguk tipis.
'Terima kasih' mataku berbicara dan sekilas om Ben mengangguk tanda mengerti.

Aku tahu Om Ben menyimpan tanya dalam benaknya berharap aku akan bercerita. Tetapi, aku memilih bungkam. Esok atau lusa, Om Ben pasti menemukan sendiri jawabannya bukan?

Mencoba menggunakan sudut pandang pertama. Masih belum ketemu sudut pandang yang pas dalam menulis cerita ini. Mungkin nanti kalo udah klop mau menggunakan POV mana yang cocok, akan dilakukan revisi ulang.

Patah (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang