3. Di Tengah Lapangan

87 11 21
                                    

"Menurut lo kenapa dia malah ngadem di sana dan ga ikutan lari?" Tanya Lino. Pandangannya masih memperhatikan cewek itu.

"Mana gue tau," jawab Adit seadanya.

"Cih apasih yang lo tau?" Sindir Lino tajam.

"Ga ada," ucap Adit jujur. Toh, emang tidak ada yang dia tau tiap Lino bertanya. Memangnya salah.

"Ya udahlah ayok ke kantin, lagian muka-muka anak Ipa 1 emang kaga ada yang stabil," ujar Lino. Ternyata gosip yang beredar di kalangan perghibahan itu memang benar. Warga Ipa 1 tampangnya serem semua, iya, tampang-tampang menistakan para orang gobloq seperti Lino:).

"Yok," ujar Adit. Ia ikut melangkahkan kaki mengikuti Lino.

***

Koridor-koridor sangat sepi karena kelas-kelas lain masih melaksanakan pembelajaran. Hanya ada beberapa anak yang lewat sekedar pergi membawa map atau pergi ke toilet.

Begitu juga dengan di kantin, hanya ada para pedagang makanan yang merapikan tempat mereka. Beberapa pedagang terlihat berkumpul seperti sebuah organisasi. Entahlah, mungkin mereka lagi ghibahin si Anto yang maling mangga depan rumahnya Lino.

Lino dan Adit memasuki kantin dengan PD-nya. Tidak takut kalau-kalau ada guru yang datang dan menghukum mereka. Apalagi kalau mereka bertemu Pak Fahri yang akan menjewer telinga mereka sampai putus. Sungguh mereka merasa nyawa mereka ada satu lemari dirumah.

Adit dan Lino mengambil tempat biasa mereka. Seperti sudah ada nama mereka di meja yang satu itu.
Seperti biasa Lino lah yang memesan makanan. Dan Adit hanya menunggu di meja.

"Nih," ucap Lino meletakkan nampan di atas meja.

Adit mengambil makanan miliknya.

"Lu pernah ga sih ketemu barang di jalan?" Tanya Adit.

"Ha? Lu nanya sama gue?" Ujar Lino malah kembali bertanya seraya menunjuk dirinya sendiri dengan sendok yang sedang dipegangnya.

"Ya iyalah karapay, lu kira di sini ada orang lain lagi gituh," cerca Adit hampir khilaf melempar minumannya ke muka Lino. Sedangkan Lino hanya mengangkat bahunya, tak bersalah.

"Pernahlah," ucap Lino. Ia kembali melahap bakso di hadapannya.

"Lu balikin gak ke orang yang punya?" Tanya Adit lagi.

"Telgantoung," ujar Lino masih mengunyah baksonya. Ia lantas mengambil minum dan meneguknya.

"Kalau barangnya kek buku sama tas atau apa gituh gue balikin, tapi kalo gue ketemu uang ya gue ambil buat gue, rugi gue kalo dibalikin," ujar Lino jujur.

"Huh, sudah gue duga," ujar Adit menanggapi. Tentu saja, bukan Lino namanya kalau tidak mau untung.

"Kenapa lu nemuin barang di jalan?"

"Hm," ucap Adit mengiyakan.

"Hah? Apaan?" Tanya Lino kepo.

Adit merogoh isi celananya mengeluarkan benda itu dan memperlihatkannya pada Lino. Sebuah gelang berwarna putih dengan ukiran nama yang indah. Terlihat sangat biasa saja.

"Anjir!" Kaget Lino. Ia hampir saja berteriak. Ya, dia membaca nama yang terukir di sana.

"Punya si Nata?"

"Hm,"

"Si cewek yang dingin itu?"

"Hm,"

"Seriusan?"

"Iya Herman," kesal Adit.

"Kok bisa ada di elu? Lu maling ya? Ngapain lu maling gelang ginian, Dit?" Ya, bukan Lino namanya kalau tidak suka fitnah orang sembarangan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hai Nata...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang