aurora

242 53 10
                                    

1. lumiere

Chanyeol akhirnya menyelesaikan pesanan mixing yang ia dapat dari kliennya setelah dua jam duduk tanpa beranjak. Ia meregangkan tangannya ke atas, tersenyum puas melihat proses pada layar—

—untuk kemudian pandangannya menjadi gelap.

"Hei, hei!"

Terdengar tawa renyah Wendy tepat di samping telinganya. Perempuan itu langsung memeluk Chanyeol dari belakang, lalu memamerkan layar ponselnya ke hadapan Chanyeol, menggoyang-goyangkannya. "Coba tebak."

Chanyeol menangkap ponsel itu, mengernyit saat membaca tulisannya. Di sampingnya, Wendy tiba-tiba bersin sambil menjauhkan wajahnya. Chanyeol membacanya sekali lagi, tetapi sedikit terusik karena Wendy kembali bersin.

"Tiket?"

"Iyaaa! Kado untukmu, Sayang! Selamat satu tahun!"

"Oh astaga, tanggal berapa ini?"

"Tanggal—" kalimat Wendy putus lagi karena bersin, "tujuh belas. Lusa kita berangkat!"

Namun rasa antusias Chanyeol langsung menjadi surut. "Sayang, kau sakit?"

. . .

Jika tidak memikirkan berapa uang yang sudah dikeluarkan Wendy untuk tiket penerbangan dan hotel ini—walaupun mendapat diskon karena mereka sudah pernah menginap di sini, tapi tetap saja—maka ia akan membatalkannya. Selama penerbangan, tubuh Wendy panas. Dia berpura-pura tidak apa-apa tetapi bersin-bersinnya malah tambah parah.

"Waktunya tidak tepat begini," gumam Chanyeol saat mereka diantarkan oleh taksi ke hotel tersebut, sembari mengangkat travel bag milik Wendy dari bagasi. "Kita berada di salju, pula. Kau bawa obat-obatanmu?"

Wendy menepuk-nepuk tas yang dicangklong pada bahu kanannya dengan keras sambil tersenyum lebar. Namun wajahnya yang lelah dan hidungnya yang memerah tetap tidak bisa berbohong. Sambil berjalan, Chanyeol melepaskan syalnya dan melingkarkannya pada leher Wendy, meski Wendy sudah memakai selembar syal merah pada lehernya.

"Cuma flu. Jangan khawatir."

"Cuma." Chanyeol menyeret koper itu, menaruh travel bag di atasnya, dan memanggul ransel miliknya sendiri. "Malam ini kita tidak boleh keluar."

Wendy mengecek ponselnya. "Kata salah satu guide di hotelnya, meski beberapa hari ini auroranya hampir tidak terlihat, tetap rugi kalau tidak jalan-jalan, Sayang. Mereka juga menyewakan sleigh ride—"

Chanyeol berhenti berjalan. "Tidak. Jangan keras kepala."

Wendy cemberut, kali ini sungguhan dan bukan dibuat-buat.

"Kalau kau istirahat, besok mungkin bisa sembuh. Kau istirahat untuk liburan yang lebih baik. Kalau memaksa dirimu hari ini, besok-besok liburannya akan kacau, malah mungkin kau sendiri akan tambah parah."

Wendy lalu berjalan pelan, merapat ke arah Chanyeol. Chanyeol, meski kerepotan dengan dua bawaan besar dan satu ransel, memutuskan untuk merangkul Wendy sampai mereka tiba di pintu utama hotel.

. . .

Langit-langit kaca itu hanya menampilkan langit yang biru kehitaman, dengan taburan bintang dan tanpa aurora. Mungkin telah memasuki musim sepi aurora, tetapi Chanyeol tak ingin menegaskannya pada Wendy yang sudah kesusahan dengan flunya dan 'ancaman' liburan yang tak terlalu berkesan ini. Tidak ada hal berarti yang mereka lakukan malam itu, selain makan dua mangkuk sup yang diantarkan ke dalam kamar. Hingga sekarang, sudah satu jam mereka cuma tiduran dan mendengarkan lagu, sesekali bernyanyi bersama.

northTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang