Anza masih diam sambil memandang kosong lantai di bawahnya. Ya, gue tau tatapan itu. Arti tatatapan itu. Hampir setahun gue bareng dia, dan gue selalu lihat tatapan itu setiap gue khilaf.
Ya, gue, Gardika, biasanya gue di panggil Gaga. 29 tahun, dengan pekerjaan sebagai salah satu anggota band indie yang lagi naik daun. Gue punya pacar, seorang cewek yang super sabar dengan gue, dengan segala kekurangan yang dia punya, dan kelebihan yang nggak cewek lain ada. Sayangnya gue nggak tau gimana perasaan gue ke dia setelah setahun ini.
Anza.
Ya.
Anza, cewek manis, ya gue akui dia manis, yang sekarang ada dan duduk di seberang gue.
Pacar dengan perjanjian hitam diatas putih.
Dan sekarang, setelah seminggu lebih gue gak ketemu dia karna jadwal band yang padat, dia muncul dengan tatapan itu di depan gue. Gue ngerasa nggak aman walaupun gue nggak ngerasa berbuat salah.
Dia muncul tiba - tiba di basecamp band gue tepat setelah kami semua makan siang, dengan ekspresi datar yang bikin semua anggota band gue langsung mundur seketika. Bukan, bukan karna mereka nggak suka Anza. Semua tau cerita gue sama dia.
Mereka cuma khawatir. Khawatir dengan keselamatan gue.
"Tell me..." tegur gue ragu.
Anza akhirnya melihat ke arah gue, dan menyamankan duduknya dengan menumpukan satu kakinya diatas kaki yang lain. "Ayo putus, Ga."
".................."
"Aku capek." sambung Anza pelan.
Gue yang awalnya sudah was - was, makin nggak bisa ngomong apa - apa. Nggak pernah sedetik pun dalam imajinasi gue, gue bakal alamin hal ini.
Putus dari seorang Anza.
"Hey.... Ke..."
"Aku harus pindah. Terserah kamu bisa terima apa nggak. Tapi, aku nggak bisa lanjutin ini. Semuanya, kamu nggak perlu khawatir. Aku bakal tanggung jawab. Kamu cuma perlu fokus sama karir kamu, dan bisa kembali ke dunia mu lagi." Anza memotong cepat dengan senyum samar di wajah polosnya. Wajah polos yang jauh dari kata cantik dan make up. Tapi, pada akhirnya gue terbiasa dengan itu.
"Nza..." gue masih coba untuk meluruskan pikiran gue.
Anza beranjak sambil menghentakkan sepatunya beberapa kali dan sedikit menurunkan ujung celana jins nya yang belel. "Aku balik dulu ya. Tadi ijin bentar doank dari toko. Takut rame. Dah Gaga..." senyumnya bahkan sampai kebawah matanya.
Gue cuma bisa lihat dia pergi dengan perasaan aneh. Seperti melihat orang lain. Anza biasanya punya langkah yang ringan dan cepat dengan wajah terangkat ramah. Tapi kali ini, bahkan dia cuma menunduk, melewati tapakan semen di tengah taman, sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.
"Kenapa?" Baim, drummer gue menyambut lebih dulu waktu gue masuk studio.
Gue diam di depan mereka semua dengan pikiran yang masih ngelantur kemana - mana. Gue nggak ngerasa sedih jujur aja, tapi tiba - tiba ada yang langsung terasa kosong waktu gue denger dia bilang gitu.
"Mungkin nggak sih kalo Anza suka cowok lain?" pertanyaan random yang tiba - tiba keluar dari mulut gue.
"Hah? Maksud lo?" dalam sekejap gue luruh ke lantai setelah genk gue berkerumun.
"Lo kenapa, Ga!"
"Anza kenapa?"
Gue bengong sambil memandangi wajah - wajah sahabat gue satu - persatu. "Anza minta putus..."

KAMU SEDANG MEMBACA
Setumpuk Cerita
Short StoryHidup itu.... Kadang seperti kumpulan para stand up comedy, lucu. Kadang seperti deretan para dessert yang manis. Kadang juga seperti secangkir Americano yang pahit. Atau kadang terasa seperti masakan yang kurang bumbu, hambar.