DAEGU cerah hari ini, namun hangatnya sinar mentari tak membuat Taehyung beranjak dari kasurnya. Terhitung dua hari sejak rehat sementaranya dari Bangtan Boys, dan Taehyung memutuskan untuk beristirahat sejenak di kampung halaman.
Seperti anak muda kebanyakan, ia menghabiskan waktu libur dengan berkumpul bersama teman lama, pesta barbekyu dengan ditemani berbotol-botol soju yang-- well, ia bahkan tak mampu menenggaknya lebih dari dua shot. Juga malam-malam berbintang yang ia nikmati sembari mendengarkan playlist favorit di tepi pantai.
Taehyung bisa dibilang sangat menikmati liburannya. Wajahnya akan tersenyum lucu tiap kali ia berpapasan dengan orang yang lama tak ia temui. Ia adalah orang yang akan tertawa paling keras saat teman-temannya mengutarakan gurauan yang bahkan tidak terlalu menggelitik. Taehyung anak yang ceria, mereka bilang. Well, setidaknya itu yang ingin Taehyung tunjukkan pada semua orang.
Pada malam-malam panjang, Taehyung akan duduk termenung di balkon kamarnya. Ia tidak tahu apa yang mengusik pikirnya selama beberapa hari ini, bahkan semenjak ia menapakkan kaki pada kampung halaman. Ia terus merasa gelisah. Seolah ada kekosongan yang menggerogiti hatinya. Kendati Jungkook tak ada disampingnya, ia ragu itu adalah satu-satunya penyebab.
"Taehyung-ie, kau yakin tidak mau mengikuti upacaranya?"
Taehyung bergeming. Tidak, bukan karena benar-benar tak ingin mengunjungi pusara orang yang sangat ia rindukan. Ia hanya takut, terlalu takut untuk kembali jatuh terperosok pada kenangan yang terlalu menyesakkan. Ia rindu neneknya, sungguh. Dan dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia masih belum merelakan kepergian orang yang teramat ia cinta.
"Aku akan menyusul seperti biasa, Bu. Kalian bisa pergi duluan."
"Ya sudah, Nak. Jangan lupa kunci pintunya."
Ponsel berdenting tanda sebuah pesan masuk. Itu Jungkook dengan kekhawatirannya yang kadang berlebihan. Taehyung menjawab sekenanya, ia sedang tidak dalam mood untuk meladeni ocehan Jungkook dan racauannya tentang hal-hal yang mengganggunya setiap hari.
Meletakkan ponselnya kasar, Taehyung mengawang-awang. Jika dipikir-pikir, ia tak menemukan kenangan yang teramat berarti dari ruangan yang sedang ia tempati. Tempatnya bukan disini. Tujuh belas tahun ia habiskan bersama sang nenek dan kakek, serta beberapa keponakannya, mengingat orang tuanya sedang memiliki masalah finansial yang cukup rumit kala itu. Ah, pikirannya melayang jauh, membangkitkan rasa ingin bertemu kembali membuncah.
Tanpa berpikir panjang, Taehyung mengambil hoodie dan berpakaian sekenanya. Ia tahu sekarang, apa yang sesungguhnya ia inginkan saat pulang ke kampung halaman. Bukan rumah ini yang ia rindukan. Ia punya rumah lain yang akan selalu menunggunya pulang.
Setelah berjalan selama beberapa menit, sahut-sahutan burung camar mulai terdengar, pertanda ia sudah dekat. Rumah itu sederhana, dengan taman kecil didepan dan pemandangan laut Daegu yang menyejukkan.
Pagar kecil berderit ringan ketika Taehyung membukanya. Berbagai tanaman herbal masih berjejer rapi di taman, is tahu keluarganya masih merawat tanaman tersebut seolah mereka merupakan bagian dari keluarga.
Taehyung memantapkan langkah untuk membuka pintunya. Oh, betapa ia merindukan suasana ini. Bahkan ia bisa mendengar suara senandung halus sang kakek; kebiasaannya saat sedang mengurus tanaman. Juga bau sup ikan yang akan selalu menyambutnya saat ia pulang. Taehyung tak lagi dapat membedakan realita dan ilusi. Semua kenangan tentang tempat ini terlalu memuakkan. Pundaknya mulai bergetar, ia bisa merasakan sesak luar biasa menghantam dadanya, dan butir-butir air lolos begitu saja melalui kedua matanya.
"Taehyung-ie, kau datang?"
Tunggu dulu. Taehyung merasa ada yang salah pada telinganya. Ia mendengar suara neneknya memanggil namanya seperti dahulu kala. Bagaimana bisa suara orang yang sudah meninggal selama dua tahun mendadak menyapa telinganya? Tidak. Ia tidak mau terus terjebak, ia sudah terlampau letih. Namun suara itu semakin dekat. Bahkan ia bisa mencium aroma bunga lily, aroma khas nenek Kim dalam jarak yang teramat dekat. Taehyung menutup matanya, semua kenangan ini amat menyiksa. Sampai sebuah tepukan singgah di bahunya dan ia hampir tak bisa berkata-kata.
"Sayangku, kenapa baru berkunjung sekarang?"
Mata Taehyung membola. Mulutnya terbuka begitu lebar. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Entah apa yang sedang ada dihadapannya sekarang, ia tak peduli. Neneknya kembali. Orang yang selalu menjadi tujuannya untuk pulang kini ada di hadapannya. Maka tak menunggu lama, ia segera berlari merengkuh tubuh renta itu, menyalurkan semua rasa rindu dan gelisahnya, lalu kembali terisak.
"Aigoo, putra nenek kini sudah dewasa. Lihat seberapa banyak kau bertumbuh. Lihatlah wajah ini, kau tampan sekali, Taehyung-ie!"
Taehyung menangis begitu keras. Ada banyak hal yang teramat ingin ia sampaikan. Pelukannya mengerat, bersamaan dengan suaranya yang terdengar sangat memilukan.
"Kenapa menangis? Nenek dan kakek ada bersamamu. Kami selalu menunggumu disini, Nak."
"Aku- aku minta maaf, Nek. Aku tak pernah ada di sisi kalian. Aku tidak tahu, Nek. Aku tidak pernah tahu jika menjadi seorang idol akan merenggut waktu-waktu bersamaku bersama kalian. Seharusnya aku ada bersama kalian saat mendengar nenek sedang sakit. Harusnya aku berhenti sejak dulu. Harusnya aku tak mengikuti egoku dan tetap disini. Harusnya aku--"
"Sssh, sudah. Ini bukan salahmu, Nak. Memang sudah waktunya nenek dan kakekmu berpulang. Mau kau seorang idol atau apapun, kau tetap cucu nenek yang paling nenek cintai. Lihat, wajahmu jadi jelek karena kau menangis.
Sekarang, dengarkan nenek. Kau hidup dalam tekanan selama dua tahun terakhir. Walaupun kau tidak dapat melihatnya, nenek selalu tahu, Taehyung-ah! Nenek dan kakekmu sudah mendapat tempat yang lebih baik dan kau tak perlu khawatirkan itu, sayang.
Kau sudah menjadi cucu nenek yang sangat membanggakan. Nenek bahagia sekali melihat semua orang mengenal namamu. Sekarang, nenek ingin kau mengikhlaskan kepergian kami. Sudah cukup Taehyung-ah, jangan siksa dirimu lebih jauh. Kau mengerti, sayangku?"
Dalam tangisnya, Taehyung mengangguk. Mungkin kali ini, ia harus benar-benar mengikhlaskan semuanya. Maka sang nenek tersenyum sebelum mengecup keninya lembut.
"Dan satu lagi, nenek sudah tahu kau sudah menemukan tambatan hatimu. Siapa namanya? Jungkook? Ah, dia cantik sekali. Sepertinya dia juga anak yang baik. Jaga dia baik-baik ya, Taehyung-ie!"
Taehyung tersenyum, ia terus menikmati usapan tangan sang nenek di sela rambutnya, dan semakin mengeratkan pelukan. Ia sedang mengumpulkan kenangan sebanyak mungkin, karena ia tahu ini tak akan bertahan lama.
"Sekarang, nenek pergi. Jaga dirimu baik-baik, ya. Kau adalah cucu nenek yang paling nenek cintai, sekarang dan selamanya."
Pelukan semakin mengendur dengan suara yang semakin menjauh. Taehyung berusaha meraih sebanyak yang ia bisa, namun ia mendapati dirinya ditinggalkan seorang diri. Mengusap air mata perlahan, ia berjalan keluar rumah. Ia tak lagi merasakan sesak pada dadanya, semua rindunya terbayar sudah. Kini, tak ada penyesalan dalam dadanya karena ia tahu, sang nenek akan selalu ada untuknya. Ia menutup pintu rumah itu, mungkin untuk terakhir kalinya. Mengamati rumah masa kecilnya sekali lagi, sebelum memantapkan langkah meninggalkan semua kenangan dan menyambut hari baru penuh harapan.
"Selamat tinggal, nenek dan kakek. Aku mencintai kalian."[]
- Dibuat khusus buat Ibu yang sudah berbahagia diatas sana. Nissi kangen ibu.