LONCENG berdenting ketika Hoseok berjalan memasuki Kafe Dalcom. Aroma khas kopi menyerbu penciumannya segera setelah ia membuka pintu. Sudah satu pekan sejak kunjungan pertamanya di kedai kopi kecil itu.
Kedai kopi itu nampak sederhana, dengan nuansa interior minimalis dan tambahan dekorasi berupa pajangan lego di beberapa sudut. Hanya ada beberapa pengunjung hari ini. Maklum, ini hari pertama musim dingin, orang cenderung malas untuk pergi keluar rumah.
Hoseok memilih salah satu kursi di ujung. Bukan karena ia tak mau terlihat sedang sendiri, ia memiliki alasan tersendiri mengapa ia selalu mengincar spot yang bahkan tak pernah diisi pengunjung.
Segera setelah memesan latte favoritnya, Hoseok segera mengalihkan pandangan. Itu dia. Alasan mengapa ia selalu datang ke tempat ini lagi dan lagi. Sesosok figur kecil nampak tergesa mengenakan apron dan membenarkan tatanan rambut ikat kuda. Rupanya, ia terlambat hari ini. Perempuan itu tampak mengangguk setelah mendapat instruksi dari laki-laki yang tadi sempat menulis pesanannya. Tangan-tangan mungil itu kemudian bergegas membuatkan pesanan. Lihat dia, bahkan perempuan itu terlalu fokus seakan-akan kopi yang dibuatnya adalah satu-satunya senjata yang bisa digunakan untuk menaklukkan dunia. Well, kalau dunia yang dimaksud adalah hati Hoseok, ia tak perlu repot-repot. Bahkan, perempuan itu sudah menarik perhatian Hoseok sejak hari pertama.
Hoseok tak pernah tahu nama perempuan itu, pun tak pernah punya keberanian untuk mencari tahu. Belasan tahun hidup sebagai seorang trainee hingga berhasil menjadi seorang idola remaja mengharuskan ia untuk membatasi hubungan dengan lawan jenis. Kendati demikian, sepertinya Hoseok sudah menemukan pengecualiannya hari ini.
Bunyi bel berdering, tanda pesanannya sudah siap. Segera, Hoseok membawa bel tersebut untuk menukarkan dengan pesanan miliknya. Tapi aneh, dimana pelayan yang biasa berjaga di konter pemesanan? Otaknya mulai berpikir keras hingga ia mendengar suara lantang dari bagian dapur.
"Kanna, tolong antarkan pesanannya. Ken tidak masuk hari ini!"
Kanna?
Belum sempat ia mencerna pikirannya, Hoseok dikejutkan dengan kedatangan perempuan yang selalu hinggap di pikirannya akhir-akhir ini. Jadi namanya Kanna. Nama yang cantik sekali, secantik wajahnya. Kali ini, Hoseok ingin berterima kasih beribu-ribu kali pada alam yang berbaik hati mempertemukan mereka. Ia bisa melihat mata bulat itu dari dekat, pipi memerah kepanasan dengan sedikit bintik samar, juga bibir merah muda, dan bibir merah muda yang tampak menggoda. Sebuah perpaduan yang sangat indah dari wajah yang kini tampak menatapnya bingung.
Satu lambaian tangan,
Dua lambaian tangan,
Tiga lambaian tangan dan Hoseok akhirnya tersadar dari lamunan.
"Uh, huh. Maaf, aku sedang tidak fokus. Terima kasih." Hoseok tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuk. Hatinya berdebar tak karuan. Perempuan itu kemudian nampak mengeluarkan sesuatu dari kantong sakunya. Sebuah buku catatan kecil dan pena.
Tidak apa-apa. Semoga harimu menyenangkan!
Mata Hoseok membola. Ia sama sekali tak menahu dengan apa yang sedang terjadi. Seolah memahami raut kebingungan Hoseok, perempuan itu kembali menuliskan sesuatu di buku catatannya.
Aku tunawicara.
Hoseok tertegun. Pantas saja ia tak pernah mendengar satu pun suara dari mulut kecilnya. Yang membuat ia lebih tertegun, bagaimana perempuan itu bisa membuat hal yang seharusnya jadi kelemahannya itu terlihat bagai suatu anugerah di mata Hoseok?
"Kanna! Kami butuh bantuanmu disini!"
Perempuan itu nampak mengangguk dan tersenyum pada Hoseok. Namun sebelum ia bergegas menghampiri sumber suara, sebuah tangan mencekal lengannya.
"Senang bertemu denganmu. Namaku Hoseok, dan aku akan datang kembali!"
Kanna tersenyum dan mengangguk setelahnya. Tak melewatkan juga semburat merah muda yang kini mulai menjalari wajahnya. Hoseok melepas tangannya kemudian, lalu bergegas meninggalkan konter.
Hanya ada satu hal yang ia pikirkan sekarang. Ia segera mengambil ponsel, lalu menekan tombol telepon.
"Pd-nim, aku ingin kursus bahasa isyarat!"[]