Pemikiran liar sangat kuat menggerayangi jiwa, semakin dilawan, semakin terkuras otakku diremasnya. Saat seperti ini biasanya saya merilekskan tubuh dengan olahraga jika punya waktu atau sekedar minum kopi dan membaca buku, tujuannya cuma satu agar pikiran tidak melantur kemana-mana. Tapi kali ini berbeda, ada sensasi menarik didalamnya yang semakin dituruti, semakin menggrogoti.
Jika bukan karena segerombolan perempuan yang sedang berbincang hangat disamping meja, mungkin saja tugas kuliah sudah selesai. Petakanya, bukan selesai tapi malah membuka gerbang baru, sebuah konspirasi liar dari pemikiran yang muncul begitu ganasnya.
Jika boleh saya jabarkan pemikiran-pemikiran itu, mungkin yang paling sederhana adalah mengapa manusia diciptakan untuk mengalami rasa sakit yang berulang kali untuk menjadi lebih kuat? Saya mendengar pertanyaan ini dari salah satu perempuan yang merasa bahwa memang cinta menyakiti dia berkali-kali, bahkan, sampai suatu ketika disaat yang sudah kesekian kalinya malah membuatnya mati rasa akan yang namanya kasih sayang. Dalam pikiran saya timbul suatu pertanyaan baru, apakah titik terkuat seseorang adalah saat dia tidak merasakan apa-apa? Kalau begitu takdir begitu kejam, hal yang seharusnya nikmat untuk dirasa malah membuat seorang anak manusia menjadi cacat. Cacat dalam merasa, jika boleh saya istilahkan Tuna Warsa. Dunia mendapat satu lagi cacat yang harus disembuhkan.
