Dua Puluh Satu

36.7K 4.9K 560
                                    

Barusan Kennan mengucapkan apa? Wow?

Febe yang seolah melayang entah di mana, mendadak tersadar. Matanya terbuka, mengerjap. Hal pertama yang dilihatnya adalah wajah Kennan, cuma sekitar sepuluh sentimeter di depannya. Napas pria itu terasa hangat di wajah Febe. Refleks, dia mundur. Namun ternyata tangan Kennan masih memeluk pinggangnya. Lelaki itu tidak membiarkannya bergerak.

Ingatannya pulih secepat cahaya. Barusan Febe dan Kennan, berciuman di tengah jalan Pulau Santorini! Tepatnya, Kennan yang lebih dulu mencium Febe. Lembut dan seolah sedang membujuk Febe agar tidak fokus pada rasa sakit menyilet yang tercipta karena dia menggigit jerawat matang di bawah bibir. Febe cuma memiliki waktu dua atau tiga detak jantung untuk menyadari apa yang terjadi. Lalu, refleks dia membalas apa yang dilakukan Kennan. Dengan segenap pengetahuan Febe yang menyedihkan untuk urusan ciuman.

"Kenapa? Kamu harusnya nggak kaget karena udah tau apa yang terjadi sama hidupku. Maksudku, untuk urusan cinta-cintaan," kata Febe, defensif. Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan Kennan tapi lagi-lagi tidak diizinkan.

"Jangan kesel gitu, deh! Aku kan nggak bilang apa-apa. Aku cuma ngomong 'wow' doang. Apa sekarang kata itu jadi punya makna negatif? Kok aku baru tau?" Dengan tangan kirinya yang bebas, Kennan mengelus rahang Febe. Gerakan yang membuat perempuan itu merinding. Seumur hidup, tak ada yang menyentuh Febe seintim itu.

"Kayak yang pernah berkali-kali kubilang, kamu demen banget nuduh macem-macem. Tapi semuanya salah," imbuh Kennan. Kepalanya menggeleng. "Itu tadi bentuk kekagetanku, Fe. Karena ... nggak nyangka banget efeknya luar biasa. Dalam artian positif."

Febe menyipitkan mata, tak sepenuhnya percaya pada kata-kata suaminya. Sementara di sekeliling mereka, dunia terus berjalan. Orang terus berlalu-lalang dengan urusannya masing-masing. Sedangkan Febe dan Kennan seolah terpaku pada buana sendiri.

"Aku minta maaf karena nggak nepatin janji. Aku pernah bilang apa pun yang terjadi di antara kita, pasti atas persetujuan kamu. Tadi, aku nggak minta izin dulu."

Sebenarnya, Febe tidak keberatan sama sekali. Dia nyaris memberi tahu Kennan tapi berhasil menahan diri. Febe belum benar-benar mengenal Kennan. Ini bulan pertama pernikahan mereka setelah sebelumnya hanya menjadi orang asing satu sama lain. Meski pria itu menunjukkan niat baik, hal itu belum teruji. Febe akan lebih bisa menilai Kennan dengan objektif jika Irina kembali.

Menggaungkan nama sang adik di kepalanya membuat tangan Febe yang menempel di dada Kennan, mengepal seketika. Mengapa mendadak nama Irina menjadi lebih mengganggu dibanding biasa? Febe menegakkan tubuh.

"Kamu udah bisa lepasin aku, Ken. Aku nggak bakalan menggigit bibir lagi," kata Febe dengan suara datar. Dia menyadari kekagetan Kennan. Namun Febe tak bisa mencegah dirinya bersikap menjaga jarak. Mendadak, dia terlalu cemas. Padahal, setelah setuju menikahi Kennan, tidak pernah sekalipun Febe sekhawatir ini. Dan dia tak berani mencari pemicunya.

"Fe ...."

"Aku masih pengin berkeliling. Kalau kamu mau balik duluan ke hotel, nggak apa-apa," sambar Febe cepat tanpa melihat Kennan. Lalu, dia mulai berjalan tanpa menunggu jawaban dari suaminya. Saat itu, Febe merasa bodoh karena bereaksi cukup frontal setelah berciuman dengan Kennan. Seharusnya, dia bisa lebih santai seperti biasa. Memangnya, apa yang istimewa dari sebuah ciuman?

Tapi, yang tadi itu memang istimewa.

Itu ciuman pertama Febe dalam arti yang sesungguhnya. Dia tidak pernah tahu jika keintiman yang melibatkan bibir dan lidah bisa semagis itu. Bahkan saat melangkah pun Febe bisa merasakan lututnya goyah. Seharusnya, saat ini dia duduk dan menghabiskan waktu minimal setengah jam untuk menenangkan diri.

Despacito [Terbit 28 Oktober 2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang