Tiga - The Saddest Wedding Ever

518 29 15
                                    

Halo, semua. ^^ Maaf telat dari waktu update yang dijanjikan. Ternyata saya butuh waktu lama untuk nyelesain bagian ini, karena walaupun di bagian awal cerita ini saya udah bilang bakalan nulis apa yang ada di kepala saya, nggak enak juga kalau nggak riset kecil-kecilan. *nyengir innocent*

Dan sebagai gantinya, saya bikin bagian ini lebih panjang dari sebelumnya. Semoga kalian suka. :))

Seperti biasa, terima kasih yang paaling dalam dari saya untuk semua yang udah vote dan/atau komen dan/atau masukin cerita ini di reading list. Love you guys. :*

Kalau yang baca cerita ini ada yang mengerti soal penyakit jiwa, dan kurang sreg atau merasa aneh dengan penjelasan dari dokter (nanti kalian tahu ^^) yang saya tulis di sini, pertama-tama saya mohon maaf. Soalnya saya cuma riset dari baca-baca di internet, dicampur dengan imajinasi saya. Mungkin bisa PM saya, jadi saya bisa sekalian konsultasi untuk lanjutan ceritanya, hehe.

Oke deh, selamat membaca dan jangan lupa bawa tisu. :")

***

Suster Dima POV

Mulutku sudah setengah terbuka, tapi entah apa yang mencegahku bicara dan menghentikan langkahku begitu saja. Dan aku juga tidak tahu apa, yang membuatku malah memperhatikannya alih-alih  memanggilnya seperti niat awalku tadi.

Lelaki itu memandang menembus kaca salah satu kamar pasien, dengan pandangan yang penuh oleh berbagai macam pancaran emosi. Ada luka di situ. Ada penyesalan. Ada kerinduan. Ada cinta. Ada ketulusan. Dia bahkan tidak menyadari kuperhatikan seperti ini, saking fokusnya dia pada gadis yang dipandanginya itu.

Semenjak masuk ke rumah sakit ini, Nara selalu kuanggap adikku. Mengapa? Karena dia selalu mengingatkanku pada adik kandungku. Dulu, adikku yang manis itu adalah gadis yang ceria. Dia berniat nikah muda dengan kekasihnya. Kami sekeluarga sudah merestuinya, bahkan aku sudah rela akan dilangkahi adikku.

Namun takdir kejam sekali terhadap mereka. Kekasih adikku ikut menjadi salah satu penumpang yang ikut tenggelam bersama kapal feri seminggu sebelum pernikahannya. Adikku menangis tiada henti, mengalami stres berat yang sudah masuk dalam tahap gangguan jiwa, dan akhirnya bunuh diri.

Aku tidak tahu kata-kata apa yang cocok mengungkapkan rasa menyesalku. Aku bekerja di rumah sakit jiwa ini sudah bertahun-tahun, tapi aku tidak bisa merawat dan menjaga adikku sendiri. Maka dari itu, semenjak melihat Nara murung sekali di hari pertamanya di rumah sakit ini, aku bersumpah akan merawat dan menyayanginya lebih dari sekadar suster ke pasiennya.

Oh, lelaki itu tersenyum. Entah apa yang sedang dilakukan Nara di dalam sana. Namun melihat senyum itu, bukannya merasa bahagia, hatiku malah terasa diiris-iris. Senyum itu sedih sekali. Mungkin lebih tepatnya, entah apa yang sedang berlarian di kepala lelaki itu.

Sudahlah, lebih baik kulaksanakan saja niat awalku menghampirinya. "Mas Ranan."

Lelaki itu menoleh menghadapku yang kini sudah berdiri di sampingnya. "Dokter Wanda sudah datang. Kalau mau ketemu bisa sekarang."

"Oh, iya, Sus."

Tubuhku bergerak dengan gestur memintanya mengikutiku. Namun sebelum melakukannya, kulihat Ranan menoleh sekali lagi ke arah dinding kaca yang sengaja dipasang rumah sakit ini pada setiap kamar pasien agar kami para dokter dan perawat lebih mudah mengontrol orang-orang dengan kelainan jiwa itu.

Aku memimpinnya ke ruangan Dokter Wanda, seorang ahli jiwa yang sudah jauh lebih dulu bekerja di sini dibanding aku.

"Siang, Dok. Saya mengantar keluarga pasien yang ingin bertemu Dokter."

"Ya, ya, silakan masuk," balas dokter ramah yang berhijab panjang ini.

Aku membuka lebar pintu ruangannya, mempersilakan Ranan masuk.

Trying To Fix YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang