"Ge, tadi itu ada jam kosong. Aku bingung harus ngapain. Aku cuma ngelamun kok, nggak munculin gestur apa-apa."
Mereka berdiri di bawah jarak meteran tatkala bola api purba mulai berpamitan, dengan keringat sebagai buah tangan. Kali ini, atap jingga ditugaskan merekam adegan Gerhana dan Panasea dalam pertarungan hipotesis murahan.
Dua tubuh berlumur polusi kompak berhenti. Memakan semangkuk keheningan yang tersaji. Delapan sekon kemudian, telinga Sea merasa terjajah oleh pahitnya pil kebenaran.
"Sea, berhenti ya? Hidup kamu bisa kacau kalau kayak gini terus. Sampai kapan kamu mau lari dari dunia nyata? Asal kamu tau, itu yang ngebuat kamu nggak punya temen. Di mata mereka kamu itu orang aneh."
Teguran Gerhana tepat di atas polisi tidur membujuk gerimis di netra Sea agar lekas gugur. Untaian kabel tiang listrik pun menjadi saksi senyum yang kian mengendur. Sementara Gerhana menampar bibir karena kalimat yang meluncur terpental jauh dari prosedur.
"Ya, aku tau. Makasih udah ngingetin aku soal itu, Ge."
. . ✺ . .
Potongan rembulan mengapung di dalam cangkir teh dekat jendela. Rayuan jangkrik-jangkrik mulai mencumbu telinga. Panasea menatap hambar buku-buku yang terkulai lapar. Tubuh pemudi itu memang terlihat seperti seekor burung kesepian yang meringkuk dalam sangkar. Namun ruang kerja benak miliknya jauh lebih ramai dari pasar.
"Berantem sama Gerhana lagi, ya?" Dia duduk di ubin dingin. Membasuh tangan dengan debu toples kaca yang dapat memancing bersin.
"Biru, Kayaknya aku nggak cocok temenan sama manusia nyata ya? Nggak pernah satu frekuensi. Padahal Gerhana temen kecilku."
Kurva semampai menyingsing di bibir Birumaji. Sejuk, mengalahkan embun pagi. "Makna satu frekuensi itu luas. Jadi ya tergantung sudut pandangmu kayak gimana. Yang hobinya sama-sama ngoleksi serangga? Atau ...... sama-sama punya dua dunia?"
Hidung Sea menendang udara kasar. Api di dadanya semakin tertimbun kayu bakar. Mengakibatkan rasa kesal yang kian berkobar. "Bukan, isshh. Aku cuma mau temen yang bisa memaklumi kebiasaan aku aja."
"Kamu nggak perlu cari yang satu frekuensi. Cukup cari yang bisa mengerti. Perlahan pasti bisa saling melengkapi. Lagi pula, ada aku, Sea. Ucapan orang lain nggak perlu kamu masukin ke hati, ya?"
Menatap netra Birumaji sama seperti terperosok di Palung Mariana, bedanya ini dilakukan dengan suka rela. Gelap, tapi ada badai kosmik di sana. Konstelasi tutur beserta tangan sehangat api unggun jatuh, mendekap tiap jilid organ tubuh Sea. Ya semesta, Birumaji selalu berhasil mengganti kalender hati dari musim salju menjadi musim semi, maupun sebaliknya.
Kepala Sea terangguk patuh. Masih tertinggal satu truk penuh keluh di halaman, belum dia tumpahkan. "Andai Gerhana-"
"Aku nggak perlu disukai banyak orang. Cukup kamu. Anggap aja aku rahasia besar yang harus kamu jaga, ya?" Nah, sekarang senyum sempurna sudah menduduki bibir Sea. Tak lama, suara debu laut milik Biru kembali mengudara. "Oh iya, kamu belum ngucapin selamat ulang tahun buat aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
11 HOURS : BIRUMAJI
General Fiction"Sebelas jam itu surga bagi Panasea. Hanya saja, tiga belas jam sisanya bukan neraka, tapi tanah gersang tak bernyawa."