Part 1

12.8K 670 32
                                    

Nuri tertunduk semakin dalam. Ia tak mampu mengelak lagi. Rahasia terbesarnya terbongkar sudah. Tak ada yang bisa dilakukan, selain mengakui. Air bening menitik satu per satu dari sudut matanya. Menyayat kembali luka yang kian merana.

"Tuh kan, benar dugaanku, kalo kamu tuh hamil. Ayo, ngaku! Zina sama siapa kamu? Bener-bener gak tahu diri kamu, ya! Sudah dikasih kerjaan, dibiayai kuliah, malah mencoreng arang di wajahku. Gak tau terima kasih kamu!" geram Sophie dengan telunjuk diarahkan pada Nuri.

Situasi di rumah besar itu seketika menjadi hening. Tak ada yang berani membuka suara. Sementara Nuri yang  duduk bersimpuh dengan wajah tertunduk, ibarat seorang pesakitan yang tengah menunggu vonis atas dirinya.

"Faisal kan udah bilang, Ma. Dia itu bukan perempuan baik-baik. Ngapain juga tetap dibelain, pake dikuliahin segala."

Faisal, anak Sophie menimpali perkataan sang ibu. Memecah kesunyian yang terasa pekat sejak beberapa saat lalu. Kesinisan memenuhi wajah yang tampan itu. Nuri menatap Faisal sejenak, kemudian tertunduk kembali. Tak sanggup rasanya menentang mata yang memandang rendah dirinya.

"Sabar, Ma. Kita kan belum dengar cerita sebenarnya. Kasih dong Nuri kesempatan menjelaskan," ujar Herman pada istrinya.

"Papa ini kenapa masih belain Nuri, sih? Udah jelas-jelas dia bikin keluarga kita jadi omongan orang sekomplek. Lupa ya, kemarin Pak RT datang ke sini?"

Sophie terus saja meluapkan murkanya pada semua orang. Membuat yang ada di ruangan itu terdiam. Termasuk Bik Imah yang telah bekerja di sana lebih dari sepuluh tahun. Bik Imah turut tertunduk di sisi Nuri. Merasa bersalah karena dirinya lah yang membawa Nuri ke rumah tersebut.

"Sekarang aku minta kamu pergi dari sini! Aku gak mau keluarga ini jadi gunjingan orang. Dan jangan pernah menginjakkan kaki ke rumah ini lagi!"

Sophie mengucapkan kalimat tersebut dengan penuh penekanan. Membuat Nuri mengangkat wajah perlahan. Terlihat aura kebencian dan kekecewaan dari tatapan wanita yang dihormatinya.

Nuri sadar, tak ada lagi yang bisa ia lakukan, selain menuruti kehendak Sophie. Dengan langkah gontai gadis itu pun berjalan menuju kamar di bagian belakang rumah yang selama beberapa bulan ini ia huni.

Dari kamar yang tertutup, Nuri masih bisa mendengar percakapan yang terjadi di ruang tamu. Tangannya sigap mengemas barang-barang miliknya yang tak seberapa. Sementara buliran bening terus menitik dari sudut mata.

"Nyonya, tolong jangan usir Nuri dari sini. Dia gak punya siapa-siapa lagi. Cuma saya saudaranya yang masih hidup. Tolong, Nyonya, kasihani Nuri."

"Bik! Kurang baik apa aku sama dia, hah?! Baik-baik aku terima di rumah, kuberi pekerjaan, masih kubiayai kuliah. Tapi apa balasannya, Bik?"

Gontai Nuri menyeret tas lusuhnya kembali ke ruang tamu. Tak ada guna lagi menyesal, ia hanya harus mengangkat kaki dari sana. Terlebih mendengar Bik Imah memohon untuknya. Tekad Nuri semakin menguat. Ia akan pergi malam itu juga. Bik Imah panik melihat Nuri yang telah siap pergi.

"Jangan pergi, Nur. Cepat minta maaf sama Nyonya, Nur! Nyonya pasti ngerti. Kamu mau ke mana emangnya?" Bik Imah menyongsong Nuri, hendak merampas tas di tangan Nuri yang sekuat tenaga dipertahankan.

"Gak apa-apa, Bik. Lebih baik saya pergi. Dari pada jadi perusak ketentraman keluarga di sini."

Nuri berkata demikian seraya melihat ke arah Sophie, yang ternyata masih tak mau menatapnya. Faisal pun sama. Hanya Herman yang bangkit dan mendekat. Memeluk Nuri yang telah dianggap anak sendiri. Tak mampu dicegah, buliran bening terlepas lagi dari sudut mata Nuri. Namun segera disusutnya. Ia tak boleh melemah.

Sekeping Rindu TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang