4. Midnight Talk

2.3K 220 72
                                    

akhirnya gaterlalu panjang, cuma 3000 kata wkwkwk

((cuma))

Btw, tolong baca notesku di bawah ya!

.
.
.
.
.

Suara jentik keyboard laptop menggaung di ruang makan.  Ruangan sudah gelap, tersisa lampu yang menggantung di atas meja makan yang menyala. Ditemani satu cup mie instan yang mulai mendingin, Eja masih bergelung dengan esainya. Sebenarnya, ini bukan tugas kuliah, melainkan project baru untuk lomba pembuatan aplikasi inovatif yang diselenggarakan kampus sebelah. Ia memang rajin mengikuti perlombaan-perlombaan karena selain mendapatkan uang saku tambahan, ini juga menunjang untuk beasiswanya. Semakin banyak event yang ia ikuti, maka untuk portofolionya akan semakin baik sehingga beasiswa yang ia dapatkan bisa lebih besar.

Sebenarnya, Eja bukanlah mahasiswa yang jenius. Bukan pula tipikal mahasiswa rajin. Ia hanya mengikuti alur perkuliahan, masuk kelas saat dibutuhkan, memakai jatah bolos, berorganisasi, nongkrong bersama teman-temannya. Tidak terlihat rajin, tapi yang pasti ia selalu menyempatkan diri untuk belajar, minimal satu jam sebelum tidur. Memang kegiatan itu bukan favoritnya, tapi ia bertekad untuk segera lulus dan terjun ke dunia kerja. Ia tak ingin membebani ibu ataupun abangnya lagi. Dia ingin mandiri, maka inilah hal yang perlu ia lakukan. Dan lagi, ia juga ingin membalas kebaikan ibunya yang telah merawatnya sejak ia berumur tujuh tahun. Semenjak kuliah, ia benar-benar berusaha sesedikit mungkin merepotkan keluarga satu-satunya itu.

Ia baru saja sampai di halaman kedua esainya, dan pikirannya sudah buntu. Meja makan telah berserakan beberapa referensi literatur, bungkus Pop Mie, dan cangkir bekas kopi yang telah kandas. Deadline esai ini empat hari lagi. Ia perlu menuntaskannya segera agar dapat membuat model aplikasi untuk didaftarkan. Kalau otaknya sudah berkabut begini, memang yang ia perlukan adalah sebatang (atau dua batang? Tidak, lebih) nikotin. Pokoknya sampai kepalanya ringan kembali.

Eja sempat menimang apakah ia bisa merokok di apartemen atau tidak. Ini kali pertamanya merokok di sini, selama ia dan Acha pindah ke apartemen ini, ia tak pernah sekalipun merokok di dalam. Bahkan di balkon sekalipun. Ia hanya merokok jika bersama temannya, atau saat makan sendirian di luar. Sebisa mungkin tempat ini bersih dari asap rokok. Tapi sekarang ia sangat butuh batang beracun itu. Akhirnya, egonya menang. Lagipula, Acha sedang tidur 'kan? Sekarang jam dua belas kurang dua belas menit. Dini hari. Setelah ini, ia akan merapikan segala kekacauan yang dibuatnya.

Mahasiswa semester lima itu akhirnya menyulut rokoknya dengan korek dari tasnya. Setelah menyala, ia menghisapnya kuat hingga abunya cukup panjang terbakar. Eja menghembuskan asapnya lega. Ruangan itu mulai dibumbung kelabu, hanya cahaya lampu dan layar laptop yang berpendar. Pemuda itu terbengong menatap rangkaian kata di layar laptop, berpikir keras apa lagi yang perlu ia tambah. Akhirnya ia meraih salah satu buku dan mulai membacanya lagi dengan sebatang rokok yang bertengger di bibirnya.

Malam itu suhu udara cukup tinggi, makanya Eja memilih menanggalkan kaosnya dan hanya menggunakan bokser hitam. Punggung telanjangnya menyandar pada kursi,  ia masih terlarut dengan bukunya dan sesekali menjentik puntung ke dalam cangkir bekas kopinya. Terkadang ia juga menandai bagian-bagian penting dengan pulpen, lalu kembali menghisap nikotinnya. Tak terasa sudah batang ketiga, tetapi kepalanya masih terasa berat. Ia akhirnya meletakkan kembali bukunya, melepas kacamata dan terbengong menatap langit-langit apartemen yang mengepul. Di samping laptopnya, handphone-nya bergetar. Ada notifikasi dari Yara. Gadis itu mungkin ingin menanyakan progress esainya, jadi ia hiraukan. Masih sibuk menyesap rokoknya, di balik punggungnya terdengar suara.

"Bang... Eja?"

Eja terbatuk karena kaget. Ia menoleh ke belakang punggungnya, mendapati kekasihnya sedang menggosok mata menahan kantuk. Lelaki itu segera mematikan rokoknya, agak panik karena Acha yang tiba-tiba bangun. Ia memasang raut wajah kasual, padahal jantungnya berdegup cepat.

BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang