Tentang Angkasa

76 18 7
                                    

chapter 1;
Rumah Purnama

•>putar media-nya ya.

Ade

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ade.

Sorot mata yang indah nan rupawan terus menatap kearahku yang tengah menengadah, memantapkan hati tuk kembali.

Tersirat keinginan bicara, namun ia pendam dalam-dalan sebagai hiasan purnama hati. Mungkin bahasannya tidak akan memperbaiki segalanya. Mungkin, karena aku tidak tahu secuil pun isi hati Ade.


"Mengapa?" tanyaku heran.


Ade melarikan pandangan dariku, berusaha untuk menutupi sesuatu.


"Orangtuaku sudah meninggal, tidak ada siapapun. Aku tau itu..." ucapku.



"Aku turut berduka," balasnya, mungkin merasa tidak enak.



Senyuman tersuggih dibibir, membentuk lekungan manis yang elok dipandang. "Tidak apa-apa."



"Kau sendirian, padahal aku tau kalau Mas sangan benci sendirian."




Ade mengerti, aku memang tidak suka sendirian, karena itu tiap sendirian aku selalu mencari keramaian. Berbanding terbalik denganya yang tak mampu berdiri diantara keramaian, bahkan ingin melarikan diri dari sana.





Sedari kecil, orangtuaku mengajarkan agar aku tidak banyak memilih. Mungkin itu awal dari mengapa aku tidak pernah memiliki kehidupan penuh pilihan yang sulit. Apa yang kuyakini terus kuyakini, apa yang kuanggap benar selalu kuperjuangkan. Seperti kebanyakan orang yang tengah berjuang melawan sendunya semesta. Lara ini tak pernah hilang.





Berbanding terbalik lagi dengan Ade. Dia pasrah dan diam. Membuatku tertarik akan bagaimana dia bisa bertahan, kuatnya mental itu, bagaimana cara dia mengarang segala senyuman itu. Hidupnya cukup berat untuk remaja seusia kami dahulu.





Karena itu aku bersumpah untuk menjaganya. Dahulu.




"Kamu masih hafal dengan apa yang tidak kusukai ya." pujiku sebari tertawa jenaka.



Ade merona kemudian menepuk lenganku, "Aku tidak bermaksud begitu, aku ingat karena kau mengatakan itu berjuta kali!" ucapnya mendramatisir situasi.


Aku balas tertawa. "Tidak ingin masuk?" tawarku.



Ade menggeleng. "Sebaiknya aku pulang, kau bisa menghubungiku jika lapar, aku akan mengantarkan makanan."



Aku mengangguk paham. Wanita itu kembali masuk kedalam mobilnya dan menancap gas. Kulambaikan tangan sebari menatap kepergiannya sampai ujung jalan. Pandanganku teralih pada bangunan sederhana dengan banyak tanaman kesukaan ibuku.



Rumahku.




Entah berapa lama kabar itu mampu menohokku sekeras ini. Ketika dipenjara ibu meninggal, beberapa bulan yang lalu ayah pun menyusul. Ditinggalkanya aku sebagai anak yang sayangnya tidak mampu berbuat apa-apa untuk mereka.



Aku menyesal telah membuat orangtuaku menangisiku.


Membuat mereka berpikir keras.



Mereka yang telah melahirkanku, namun tak kubalas dengan apapun.



Aku merasa malu pada Tuhan saat tidak bisa memberikan apapun—balasan—kepada mereka. Hatiku mati hingga tak sadar sudah berlubang dan membusuk.

Lantas apa bedanya aku dengan sampah-sampah itu?



Tidak ada.



Aku sama dengan sampah itu, bau, menjijikan dan kotor. Belatung pun kurasa sudi bila harus menggerogotiku.




Didalam rumah aku bagaikan seonggok mayat hidup, setelah meletakan koper dimanapun, kutatap sendu sofa tua didepan jendela. Ayah biasa membaca tumpukan koran disini atau membahas beberapa buku ensiklopedia miliknya. Tepat disebelahnya ada kursi kecil biasa aku duduk.



Ilmu yang beliau berikan, membuatku tau bahwa kematianya masih memberiku bekal yang berharga.




Andai aku tidak pernah berlaku keji, egois dalam suatu masalah dan kehilangan kendali. Mungkin saat-saat terakhir mereka masih bahagia.



Deringan telepon terdengar, membuatku melirik kearah satu-satunya barang modern selain televisi dirumahku.



"Halo, dengan siapa?"




"Ini Ilham, kudengar kau sudah keluar... Astaga tidak mengabari?"





"Oh, halo apa kabar? Aku baru saja sampai rumah."





"Syukurlah, bagaimana kabarmu?"





Kuhela nafas sebari menatap langit-langit. Kabar ya? Aku tak mampu mendeskripsikan perasaanku sekarang.



"Aku kacau."



Tak terdengar balasan dari telepon, mungkin dia masih memberiku space untuk bicara.




"Rumah terasa sepi tanda mereka," lanjutku, "Orangtua dan kakak."





"Mau kuhampiri? Sudah lama kita tidak bertemu... Mungkin kau bisa banyak bicara denganku dan mengutarakan masalahmu."




"Tidak, kau sibuk bukan. Lagipula ada Ade disini, dia bilang akan datang saat aku meneleponnya."



"Oh, baiklah. Tapi aku ingin bertemu denganmu juga wkwk."



"Besok saja,"



"Oke, selamat istirahat Dimas."



Tut.




Kuletakan gagang telepon pada tempatnya kemudian berjalan menuju sofa. Menatap senja dengan hampa sebari terlarut dalam pikiran senduku.





Aku sebatang kara.






[🌻]

konstelasi rasa

Chapter 1✔

TBC!

Moch

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Moch. Ilham Juprita as Eric

Konstelasi Rasa - Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang