| 2 |

8.2K 628 42
                                    

Kamu bergidik ngeri, padahal bukan sekali dua kali brankar itu berlalu lalang hari ini. Warna darah yang segar terngiang-ngiang dalam pikiranmu. Tiba-tiba, kakimu bergetar. Sial, ponselmu tertinggal di atas nakas. Pensil warna dan buku gambar yang sejak tadi di pangkuan meluruh begitu saja. Sungguh nasib.

🍃🍃🍃

Axela mengerjap-erjapkan matanya. Lehernya kaku, ia tak dapat menoleh ke mana pun. Lidahnya juga kelu, meski ingin mengumpat karena sekujur tubuhnya terasa sakit seperti disayat. Namun, tidak ada yang bisa ia kontrol.

Seorang dokter mendekatinya dan mengarahkan sebuah benda serupa senter kecil ke matanya. Lagi-lagi Axela mengumpat dalam hati. Apa-apaan dokter ini, pikirnya. Sepertinya lelaki yang terlihat muda tersebut berbicara sesuatu, tetapi hanya dengungan yang terdengar.

Detik-detik berikutnya, dengungan menyakitkan itu berubah menjadi sayup-sayup perbincangan dokter dengan perempuan. Tunggu, Axela menajamkan pandangannya--yang semula buram--dan mencoba melirik ke samping. Benar, itu memang Ratih, mamanya.

Wanita itu tampak kalut dan kalang kabut. Rambutnya bahkan acak-acakan, begitu pula dengan riasannya. Sudah pasti mamanya panik dan melenggang begitu saja dari kantor setelah diberi kabar oleh pihak rumah sakit.

"Kami permisi dulu, Bu."

Dokter tersebut pergi setelah membicarakan entah hal apa dengan Ratih. Dua perawat yang datang bersamanya pun mengikuti dari belakang. Axela masih menunggu mamanya mendekat dan berbicara.

Wanita itu duduk di sebelah ranjang putrinya dan mulai mengusap lembut rambut Axela. Syukurlah, aset terbesar gadis itu masih aman. Hanya leher dan kakinya saja yang patah. Wajah dan mahkota putrinya tak ada yang berkurang.

"Ma," panggil Axela dengan suara yang amat pelan.

"Hem?"

"Ka-ku."

Air mata Ratih jatuh begitu saja tanpa permisi. Ia buru-buru menghapusnya karena tak mau putrinya melihat. Walau dapat dikatakan aman, melihat putrinya berbalut perban di sana-sini tetaplah ngeri. Di saat seperti ini ia sangat membutuhkan Jaya, ayah dari putrinya yang sudah sah menjadi suami orang lain, tiga tahun yang lalu.

"Kamu istirahat lagi, ya. Mama temani."

Axela mengedipkan matanya, tanda mengerti. Gadis itu belum dapat menganggukkan kepala. Ia prihatin dengan keadaannya sendiri. Begitu banyak kemungkinan yang dapat menjadi efek dari kemalangannya hari ini. Kariernya sebagai bunga sekolah juga menjadi taruhan.

Gadis itu sudah memejamkan mata. Namun, bayangan mobil CRV yang menabraknya saat melintasi zebra cross masih terbayang. Suara pejalan kaki yang meneriaki pengemudi tak tahu dosa itu juga bertahan di otak Axela. Sepertinya, ia tak akan bisa tidur nyenyak kali ini.

•••

"Sudah ketemu, Ners?"

Sosok yang diajak bicara menggeleng. Claudia mengentak-entakkan kakinya kesal. Hari Sabtu adalah hari kebebasan bagi Nanda sekaligus sumber bencana bagi para perawat tersebut.

"Ke mana perginya anak itu? Ini sudah waktunya minum obat. Dokter Dina bisa mengamuk kalau tahu."

Claudia tidak dapat menahan emosinya. Hari ini ia tengah mengalami sindrom pra menstruasi. Nyamuk yang melintas saja bisa ia marahi habis-habisan. Rekan yang menemaninya bukanlah perawat yang bertugas menjaga Nanda, tetapi wanita itu tak dapat menolak seruan darinya.

"Di taman dan di koridor sebelah juga nggak ada, Ners. Mungkin dia sudah kembali ke kamar."

"Saya baru saja dari sana dan masih kosong."

Housepital ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang