| 5 |

5.8K 444 8
                                    

Kamu menatap matanya lekat, indah sekali. Sungguh, tipe gadis idaman yang selama ini kamu cari. Sayang, raut mukanya sudah seperti anjing galak milik satpam depan kompleks. Tapi, tetap saja imut. Ah, matamu sudah buta. Bahaya!

🍃🍃🍃

"Gimana, Nda?"

Nanda tersentak berkat suara Bu Yasmin. Guru itu berhasil membuyarkan lamunannya. Ia langsung mengangguk sambil menyunggingkan senyum. Walau tidak memperhatikan, ia masih sayup-sayup mendengar suara gurunya. Lagi pula, sejak awal ia sudah menyiapkan kata iya sebagai jawaban.

"Tapi, saya harus ijin ke mas dan mbak saya dulu, Bu. Besar kemungkinan boleh, biasanya juga nggak pa-pa."

Bu Yasmin mengangguk tanda mengerti. Mau tidak mau izin keluarga memang diperlukan. Apalagi, Nanda tergolong siswa khusus berkat lupus yang ia derita. Ikut komunitas seperti ini saja, Nanda harus melakukan perdebatan hebat.

Kedua kakaknya terlalu mengekang. Banyak hal yang tidak boleh Nanda lakukan. Padahal, penyakitnya sendiri tidak terlalu membatasinya. Untung saja Nanda bisa bersekolah seperti anak pada umumnya. Ia merasa bebas jika jauh dari rumah sakit.

"Kalau nggak boleh, nggak pa-pa, Nda. Mereka berpesan kalau kamu mau, kamu hubungi langsung. Ini, kan, naik gunung, Nda. Kalau sekiranya nggak bisa atau nggak kuat, nggak usah maksa buat dibolehin, ya?"

Nanda memamerkan giginya. Bu Yasmin tahu saja bahwa Nanda berencana untuk tetap ikut hiking, walaupun dilarang. Ia sudah menunggu waktu ini sejak lama. Ia iri dengan odapus lain yang bisa mendaki berbagai gunung di dalam maupun luar negeri, sedangkan Nanda hanya diperbolehkan ikut seminar dan acara donasi saja.

"Tenang, Bu. Saya pasti ikut dan akan membawa bendera sekolah berkibar di sana. Terima kasih, Bu Yasmin."

Nanda segera menyalami dan mencium tangan Bu Yasmin. Ia keluar ruangan sambil melompat dan berteriak kegirangan. Bu Yasmin dan guru lainnya hanya bisa menggeleng pasrah.

"Beneran nggak pa-pa, Bu?" tanya Pak Guguh.

Laki-laki itu duduk tepat di kursi bekas Nanda. Bu Yasmin hanya melihatnya malas. Ia tidak suka berurusan dengan guru kimia itu.

"Ya belum tau, Pak. Kalau yang punya badan bilang nggak pa-pa, harusnya ya aman," jawab Bu Yasmin ketus.

"Kan siapa tau kalau sebenarnya anak itu sok kuat aja."

"Ck, yang tau batasan tubuh manusia itu ya pemiliknya sendiri, Pak. Bukan dokter, apalagi guru macam kita ini." Bu Yasmin berdiri dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Pak Guguh.

"Lho, Bu. Mau ke mana?"

"Namanya guru ya ngajar, Pak. Masak ngegosip di ruangan."

•••

"Wih, keren tuh, Nda."

Kahfi memberikan segelas susu putih hangat pada Nanda. Kan sekelasnya itu tersenyum melihat pesanannya dan mengucapkan terima kasih. Kahfi segera duduk dan ikut bergabung dengan kawan-kawannya.

"Maka dari itu, aku pengen banget ikut, Fer. Kapan lagi, kan, bisa kemah di Ranu Kumbolo," jelas Nanda penuh semangat.

"Asyik, sih. Aku pernah ke sana dengan sepupuku yang kuliah di Malang. Worth it, lah. Track-nya lumayan, sepadan dengan pemandangannya." Gusti ikut bersuara.

"Tapi, kalau belum pernah naik gunung terus langsung ke sana, tubuh kamu akan kaget, Nda," terang Kahfi.

"Bener juga."

Nanda tak memikirkan hal itu sebelumnya. Apa yang dikatakan Kahfi harus menjadi pertimbangannya. Tidak lucu jadinya kalau ia tumbang di tengah jalan, hanya karena tidak kuat menempuhnya.

Housepital ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang