Kantor dan Kebebasan

8 1 4
                                    

Seperti biasanya, Tuan Mata bercerita panjang lebar kepada saya. Kali ini dia bercerita tentang Sunday dan Monday. Kedengarannya cerita itu menerangkan bagaimana kisah hari tersebut bisa disebut dengan Sunday atau Monday. Tentang Matahari, Bulan dan Saturnus. Ah, benar sekali, katanya Dewa Saturnus berhasil mengalahkan musuhnya hingga kemenangannya diabadikan dalam sebuah nama hari. Saturday. Tapi saya tidak terlalu peduli dengan semua itu. Saya hanya inginkan uang dua ribu rupiah dari Tuan Mata. Upah dari mencabut uban-ubannya. Dia berjanji akan memberikan saya seratus rupiah untuk tiap helai uban. Jadi, hanya perlu cabut dua puluh helai saja, itu sudah cukup.

Kini sudah terkumpul. Saya tagih janji Tuan Mata. Dia merayu saya untuk melakukannya lagi. Tapi saya -aya beralasan akan belajar untuk ujian besok. Dia pun terdiam lalu mengeluarkan selembar uang kertas dua ribu rupiah dari gulungan sarungnya. "Ambillah! Besok kamu harus datang lagi. Akan aku ceritakan cerita yang lebih menarik dan menegangkan tentang masa lalu." Saya hanya mengangguk lalu pergi. Siapa yang tahu kalau besok tidak ada ujian. Siapa juga yang ingin mendengarkan cerita membosankan, membuat ngantuk dan terlalu menghayal. Kecuali upah itu, saya sangat tertarik.

Saya bergegas menuju toko Koh Kaca. Sebelum berhenti sebentar memastikan saya sudah membawa pensil kayu milik Candra. Pensil itu ada dan saya temukan dalam saku celana sebelah kiri. Pensil ini saya pinjam waktu sekolah tadi pagi. Sepertinya Candra tidak keberatan kalau pensil ini saya pinta. Besok saya akan katakan padanya. Semoga saja dia mau. Sambil berjalan saya berharap begitu.

Sesampainya di depan toko Koh Kaca ada keributan terjadi. Sepertinya mereka mempermasalahkan sesuatu. Saya pun mendekat.

"Tidak bisa!" Seorang laki-laki tua bersuara keras.

"Apa alasan anda? Ini hak saya, anda tidak berhak atas ini." Seorang wanita separuh baya itu menyahut. "Nenek moyang kami telah mewariskanya kepada kami."

"Baiklah, seberapa yakin anda? Apakah ada bukti-bukti bahwa ini milik anda? Apakah anda bisa memperlihatkannya? Kalau tidak, lebih baik kita selesaikan ini di pengadilan." Laki-laki tua itu pergi.

Wanita paruh baya itu terdiam, segera saja dia masuk ke dalam rumah. Mungkin terdengar samar-samar dia masih menggerutu. Kelihatannya dia akan mendapatkan masalah besar. Yang saya dapat tangkap masalah itu adalah harta. Tapi, peduli apa saya dengan harta orang lain. Meski sempat terhenti—entah itu terkagum atau penasaran saya tidak ingat—beberapa meter dari perseteruan dua manusia tadi. Kini saya kembali fokus pada tujuan. Koh Kaca dan buku tulis.

Saya pun masuk ke dalam toko Koh Kaca. Membeli sebuah buku tulis lalu pergi. Tujuan selanjutnya adalah tempat merenung. Saya sangat senang tempat itu. Di sana saya lebih leluasa untuk berpikir. Setidaknya jauh dari si Jingga yang suka mengganggu. Terakhir kali dia sudah merobek separuh buku sketsa milik saya. Saya pun marah, tiba-tiba ibu datang lalu balik memarahi saya. Akhirnya saya pergi.

Memang saya senang sekali berpikir. Tentang apa pun itu. Tentang daun-daun, angin, matahari atau apa pun itu saya akan pikirkan. Pikiran-pikiran itu akan saya tulis dalam buku. Sudah ada 10 buku yang penuh dengan tulisan pikiran saya. Mungkin suatu hari akan saya serahkan ke perpustakaan untuk mereka baca. Semoga saja.

Ketika sampai di tempat merenung, seperti biasa saya duduk di bawah pohon nangka. Sambil memandangi awan berjalan beriringan. Meski sedikit panas udara di sekitar sini, saya rasa tempat ini cukup tenang dan pantas sebagai kantor kerja. Benar sekali, saya perlu kantor kerja. Dan saya putuskan di sinilah kantor saya. Saya akan catat peresmian kantor ini di buku baru ini. Dan besok saya akan beri tahu Candra.

Sebenarnya hari ini saya bukan hanya menulis tentang peresmian kantor ini saja. Ada satu hal kali ini yang mengganjal pikiran saya. Yaitu kebebasan:

Apakah kebebasan itu nyata? Saya rasa tidak. Kebebasan itu hanya ada jika ada batas. Tidak mungkin kebebasan tanpa batas. Sebab ketika kebebasan itu saling bertemu dengan kebebasan yang lain di situlah kebebasan itu hilang.

Seperti yang saya alami. Kata ibu, saya bebas untuk bermain atau melakukan apa saja di dalam kamar saya. Tetapi, ketika Jingga masuk. Kebebasan saya hilang. Saya tidak dapat melakukan apa-apa yang saya ingin lakukan dengan sesuka hati. Jingga telah merampas kebebasan saya. Lalu bagaimana?

Mengusir Jingga melanggar kebebasan Jingga. Kata Ibu, Jingga juga anak Ibu, dia bebas berkeliaran di rumah ini asalkan tidak merusak sesatu. Tentu saja saya disuruh untuk mengawasi sekitar Jingga. Dan itu juga telah menurunkan tingkat kebebasan saya. Saya sudah coba melapor kepada Ayah. Ayah hanya diam tidak ada respon. Saya tidak suka itu.

Jadi, kesimpulan hari ini tentang kebebasan adalah tidak ada. Kita tidak bisa bebas tanpa batas, dan di dalam batas bukanlah kebebasan.

Saya rasa cukup untuk masalah kebebasan. Saya ingin pulang dulu. Perut saya sudah lapar. Lapar ini semakin menjadi ketika saya ingat ibu membuatkan kue pandan. Saya harus segera pulang. Kue itu enak.

Sejarah Pikiran MarlinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang