Prolog

7 0 0
                                    

Tetes air mata mengalir perlahan di wajah gadis itu. Gadis yang saat ini sedang duduk di atas kasur dengan bergelimang air mata. Menatap sebuah pigura kecil yang ia pegang.

Penampilannya sangat berantakan. Raut wajahnya begitu kusut dengan air mata masih mengalir di kedua pipinya. Entah sudah liter air mata  yang ia keluarkan, karena matanya sudah bengkak sebesar bola bekel. Ia pasti sudah menangis dalam waktu yang lama.

Dalam keheningan dan kesedihan yang menemaninya, suara ketukan pintu berhasil mengalihkan perhatiannya.

"Cindy… ayo makan," panggil ibunya. Panggilan itu sontak menghentikan tangisannya. "Ayo makan dulu. Ibu sudah masak sambal udang kesukaanmu."

Cindy menarik napas dalam-dalam. "Nanti saja bu, Cindy masih belum lapar," sahutnya dengan nada ceria. Mencoba agar tidak ketahuan habis menagis.

"Ya sudah kalau begitu. Ibu cuma takut kamu jatuh sakit. Sudah tiga hari ini kamu seperti itu," ucapnya yang menatap pintu dengan nanar. Sebenarnya ibu ingin sekali menerobos pintu dan memeluk putrinya. Menyemangati putrinya agar tidak terus-menerus bersedih. Tapi ia tidak bisa. Ia juga tidak kuat melihat putrinya menangis. Tanpa sadar sudut matanya sudah terisi oleh air. Ibu mendongak. Mencoba menahan air matanya agar tak jatuh.

Meski ada jarak dan pintu yang membatasinya. Cindy tahu ibunya juga sama seperti dirinya. Ada air mata dan kesedihan yang terselip disetiap kata yang terucap.

"Ibu tahukan perut ini tidak kuat menahan lapar," Cindy mencoba menceriakan suasana. "Jadi tenang saja aku pasti makan."

"Iya.. Ibu mengerti. Perut karetmu itu pasti akan meronta-ronta pada waktunya," balasnya yang di iringi tawa.

Cindy tersenyum lebar mendengar jawaban sang ibu. Ia pun mengambil beberapa lembar tisu. Menyeka hidungnya yang berair. Kemudian mengusap asal bekas air mata di kedua pipinya. Lalu beranjak dari tempat tidur dan mengambil pigura yang tadi ia sembunyikan di bawah bantal. Mengelapnya perlahan sebelum meletakkannya di meja kecil dekat tempat tidurnya.

Sekali lagi Cindy tersenyum melihat pigura itu. Boleh jadi sebagian dunianya telah pergi meninggalkan dirinya. Tetapi ia juga tak boleh terlalu lama bersedih karena sebagian dunianya yang lain sedang menunggu. Menunggu dirinya untuk bangkit dari keterpurukan. Sang ibu. Itulah separuh dunianya yang tersisa.

                                ***
"Semua barang yang dibutuhkan sudah dibawa? Tidak ada yang tertinggal kan Cin?" tanya ibu memastikan. Ini sudah menjadi kebiasaannya sejak aku SD. Dulu ia anak yang sangat teledor. Sekarang pun masih. Walau tak separah dulu. Bagaimana kebisaan itu bisa hilang? Itu sudah jadi warisan dari almarhum sang ayah.

Cindy menatap wajah ibu dalam-dalam. Ibu menggelengkan kepalanya. Seolah ia tahu kalau Cindy sedang khawatir.

"Ibu baik-baik saja. Jangan khawatir. Fokus saja pada kuliahmu," ujar ibu dengan suaranya yang sedikit gemetar.

Ini bukan kali pertama ibu seperti ini. Waktu pertama kali mengantarkan Cindy ke bandara ibu juga seperti itu. Saat itu Cindy masih bisa bercanda membalas perkataan ibunya. Sekarang sedikit berbeda. Hatinya sedikit goyah. Ia tak tega meninggalkan ibu sendirian. Rasanya ia ingin tinggal lebih lama. Berada di sisi ibunya. Tapi niat itu ia buang jauh-jauh karena sekarang hanya dirinya yang bisa diandalkan.

Setelah kepergian sang ayah, memang hanya Cindy yang bisa di andalkan ibunya. Ia anak tunggal. Ah bukan! Lebih tepatnya anak yang terpaksa tunggal. Dulu ia mempunyai seorang kakak perempuan tapi ia telah meninggal karena insiden kecelakaan dua puluh tahun silam. Waktu itu umur Cindy masih sangat belia. Jadi ia tidak ingat apapun.

Sebelum masuk pesawat Cindy memeluk erat ibunya sambil berikirar di dalam hati. Bersumpah untuk menjadi anak yang berbakti. Serta tidak mudah menyerah atas segala kesulitan yang kelak akan ia alami. Getaran emosi di antara keduanya membuat Cindy lekas mengelap sudut matanya. Mencegah titik-titik air terjatuh.
Lalu, melepas pelukan itu.

ANOTHER DAYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang