7

195 26 6
                                    


"Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumsalam," jawab Ayah yang sedang menonton berita di ruang tengah. Aku mendekati dan mencium tangannya. "Mana teman kamu? Nggak kamu ajak masuk?"

"Nggak, dia mau langsung balik." Aku meletakkan tas di sofa dan membuka jaket.

"Siapa sih teman kamu ini?" Mata Ayah menyipit. "Pacar? Kamu nggak memperkenalkan dia ke Ayah?"

Aku tergelak. "Bukan pacar. Itu salah satu lawan main Mama. Dia yang jadi Cenderawasih."

Kening Ayah berkerut. "Oh, ya? Siapa?"

"Namanya Kevin Davor, kalau Ayah pernah dengar. Dia bintang sinetron. Terkenal banget di kalangan remaja zaman now."

"Kevin Davor? Ckckck. Anak Ayah memang hebat, sampai diantar pulang oleh Kevin Davor."

"Ayah tahu?"

"Apa sih yang Ayah nggak tahu? Ayah kan pustakawan gaul."

Aku tertawa. Tentu saja. Pengetahuan Ayah akan hal-hal random seringkali membuatku terkejut.

"Oya, Ayah masak apa? Aku lapar banget."

"Ayah bikinkan nasi goreng. Mau?"

"Mau!"

Tak lama kemudian, aku duduk memainkan sendok garpu di kursi meja makan, seraya memperhatikan Ayah yang dengan cekatan mengupas bawang merah, bawang putih, serta memotong-motong cabai merah sambil menyenandungkan Don't Stop Me Now-nya Queen.

Aku tahu Mama adalah orang yang telah mengandung dan melahirkanku, tapi aku tidak bisa menyayangi Mama sebagaimana aku menyayangi Ayah. Tidak, setelah kesalahan itu. Mama menjatuhkanku ke jurang kekecewaan terdalam dan aku terluka parah, tapi yang paling membuatku sakit hati adalah karena Mama menghancurkan Ayah.

Berkeping-keping.

Dan aku tahu, meskipun Ayah sekuat tenaga berusaha menutupi kesedihannya demi aku, bekas lukanya begitu mendalam dan tak pernah benar-benar hilang. Ayah selalu menyimpan sorot sedih itu di matanya, yang bahkan selalu membayangi setiap dia tersenyum atau tertawa. Tak pernah ada lagi senyum tulus dan tawa lepas keluar dari dirinya. Mama benar-benar membuat Ayah mati di dalam.

Hari-hari pertama pascaperceraian merupakan masa-masa terkelam dalam hidup kami. Ayah tidak keluar kamar selama empat hari penuh sampai pamanku—adik Ayah—harus menjebol pintu kamarnya. Saat Ayah akhirnya berhasil dibawa keluar, kondisinya seperti zombi: sempoyongan, mata merah dengan lingkaran hitam, rambut kusut, bibir kering, tubuh bau, dan wajah berantakan tak tercukur. Begitu melihatku, Ayah langsung melepaskan diri dari papahan Paman dan berusaha menghampiriku, tapi dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Aku menjerit-jerit. Paman membawa Ayah ke rumah sakit, sementara Bibi—istrinya—memelukku yang tak berhenti menangis sepanjang malam.

Saat itu usiaku sepuluh tahun.

Ayah pulang dari rumah sakit dua hari kemudian. Secara fisik dia sudah kembali seperti Ayah yang kukenal, tapi aku masih ketakutan. Aku baru mulai berani mendekatinya tiga hari setelah itu. Paman dan Bibi tinggal di rumah kami selama seminggu sampai Ayah bisa berfungsi kembali secara normal. Setelah itu pun mereka rutin berkunjung ke rumah kami setiap hari sampai sebulan ke depan.

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi melihat Ayah hancur. Setidaknya, tidak secara langsung. Aku tahu Ayah masih sangat remuk redam, tapi dia tidak pernah menunjukkannya di hadapanku. Ayah berjuang menjadi ayah sekaligus ibu bagiku.

Co-StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang