13

148 21 3
                                    

Keesokan harinya, saat aku tiba di sekolah, aku terkejut melihat Heidi sudah ada di mejanya. Biasanya dia selalu datang menjelang bel masuk. Orang-orang mengira kebiasaannya itu karena rumahnya jauh dari sekolah, tapi aku tahu dia sengaja seperti itu agar teman-teman yang malas mengerjakan PR tidak punya waktu untuk meminjam dan menyalin PR-nya pagi-pagi. Kenyataannya rumah Heidi hanya beberapa blok dari rumahku, dan jarak kompleks perumahan kami ke sekolah hanya lima belas menit.

"Pagi, Di," sapaku.

Dia tidak membalas sapaan itu dan malah berkata, "Kris, aku mau cerita."

Aku masih berpura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi. "Cerita apa?"

Heidi mengisahkan apa yang terjadi kemarin, mengulangi versi Benji dari sudut pandangnya. Aku mendengarkan tanpa komentar.

"Aku bingung, Kris." Heidi memainkan kuku-kukunya. "Semalaman aku berpikir sampai nggak konsentrasi ngerjain PR. Akhirnya aku cerita ke Mommy. Kata Mommy, aku harus dengerin kata hati. Tapi aku tetap bingung."

"Hati kamu lebih condong ke siapa, Di? Kak Odin atau Benji?"

Dia diam saja dengan wajah kusut.

"Gini deh. Kamu lebih suka ngobrol sama Kak Odin atau sama Benji? Siapa yang bikin kamu lebih senang?"

Heidi tampak berpikir. "Aku merasa lebih asyik ngobrol sama teman sendiri sih, Kris, daripada sama kakak kelas...."

"Berarti Benji?" tegasku sambil bersusah payah menyembunyikan rasa excited. Heidi ragu-ragu sejenak, tapi akhirnya dengan enggan mengangguk.

"Kalau begitu kamu harus tolak Kak Odin—"

"Aku belum mau pacaran sama siapa pun, Kris," ujarnya. "Kita masih kelas sebelas. Masih banyak yang harus dipelajari. Aku nggak mau waktu belajar itu habis untuk pacaran."

"Kalau begitu kamu tinggal bilang ke dua-duanya, Di."

"Tapi aku takut menyakiti perasaan mereka."

"Jangan takut. Mereka berhak nembak, kamu juga berhak nolak. Mereka harus menghargai keputusan kamu."

"Sebetulnya...." Heidi menggigit bibir.

"Apa?"

"Aku nggak masalah menolak Kak Odin, Kris. Tapi Benji... aku benar-benar takut melukai perasaannya. Aku takut kami jadi awkward dan nggak bisa berteman lagi kayak sekarang, Kris...."

Aku menggaruk-garuk pelipis. Benar juga.

"Mmm... yang penting kamu kasih tahu dia dulu kamu maunya apa...."

Benji masuk kelas dengan wajah murung. Dia menoleh ke meja kami. Saat bertatapan dengan Heidi, keduanya sama-sama membuang muka.

Aku mengeluh dalam hati. Bukan seperti ini yang kupikirkan saat menginginkan kedua temanku ini saling menyukai!

Benji menaruh tas dan duduk di bangkunya, memunggungi kami. Aku merasa sedikit sedih. Pada hari-hari biasa, usai menaruh tas dia selalu menghampiri mejaku untuk mengobrol sampai Heidi datang dan bel masuk berbunyi. Aku sudah menduga situasi di antara mereka akan canggung, tapi aku tidak mengantisipasi bakal secanggung ini.

"Gimana dong, Kris...."

Bel masuk berbunyi. Aku menepuk bahu Heidi. "Ini masih pagi. Mungkin nanti siang Benji udah biasa lagi. Setelah itu kamu harus bicara sama dia ya Di."

Heidi mengangguk. Dari mimik wajahnya, aku tahu dia masih merasa sangat stres. Aku mengambil ponsel, mengetik pesan LINE pada Benji untuk mengingatkannya agar tidak menghindari Heidi. Semoga Benji mendengarkan.

Co-StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang