Gadis Micin

13.1K 1.6K 63
                                    

Semua ini karena ulah Raline. Kalau bukan karena dia terlalu ceroboh, aku tidak akan terjebak masalah utang dengan Tuan Youtuber itu.

"Yas.. sampah yang di dapur udah lo buang?"

Hal pertama yang kulakukan begitu sampai di rumah adalah mencari selembar kertas keramat itu.

"Udah dong, Mbak."

"Kok lo buang sih?"

"Lo aneh, Mbak. Lo biasanya ngamuk kalau gue lupa buang sampah. Lah sekarang gue buang sampah, malah lo tanya kenapa gue buang."

"Lo nggak ngerti sih."

Okey, calm down, Kiran. Tenang. Coba ingat kapan kejadian itu terjadi. Hari Senin malam. Baiklah, ini hari Sabtu. Biasanya aku dan Yasmine membuang sampah dapur bergiliran setiap dua hari sekali. Dua hari sekali, dan itu sudah terjadi lima hari lalu. Artinya...

"Lo kenapa, Mbak?"

"Gue butuh struk belanja gue minggu lalu, Yas. Itu penting banget."

"Apa pentingnya struk belanja sih, Mbak?"

Aku juga berpikiran seperti itu sebelumnya. Selembar kertas itu hanya kertas biasa yang menjadi sampah setelah aku selesai mengecek barang belanjaanku.

Tunggu. Malam itu aku tidak pergi berbelanja sendiri. Aku pergi untuk menemani Raline belanja. Dan aku cuma membeli beberapa benda. Belanjaan Raline lebih mendominasi. Besoknya aku bertemu Raline dan memberikan semua barang belanjaan miliknya. Aku tidak ingat mengeluarkan struk belanja hari itu. Jadi... kertas itu ada pada Raline kan?

Untungnya sekarang belum terlalu malam untuk bertamu ke rumah orang. Rumah Raline juga tidak terlalu jauh jaraknya dari rumahku. Kurang dari lima belas menit Yaris putihku sudah mendarat di halaman rumah Nyonya Bamantara. Ah, kebetulan sekali si empunya rumah ada di luar.

"Kiran?"

Sayangnya Raline tidak sendirian. Ada suaminya yang membuatku segan setiap kali mau berbicara santai dengan sahabatku itu. "Pak..."

Aku dan Nimas memanggil suami Raline dengan sebutan bapak. Walau Pak Abyaz tidak pernah menjadi dosenku, tapi pembawaan sikapnya selalu membuat kami segan padanya. Hanya ada satu manusia yang tidak merasa segan setiap kali berhadapan dengan pria itu. Siapa lagi kalau bukan istrinya.

"Tumben malam-malam lo bertamu ke rumah gue, Ran?"

"Boleh saya pinjam Raline-nya sebentar, Pak?" tanyaku pada suami Raline.

Pak Abyaz mengangguk, kemudian mengajak putrinya kembali masuk ke dalam rumah.

"Yaah.. gagal dinner ini ceritanya. Ngapain sih lo ke rumah gue nggak bilang-bilang? Padahal gue mau malam mingguan sama papinya Dina."

"Dina juga diajak?"

"Ya enggaklah. Rencananya Dina mau dititipin ke rumah nyokap gue. Lo sih ganggu. Ada apa? Awas aja kalau nggak penting."

"Penting banget, Lin. Lo ingat minggu lalu waktu lo ngajakin gue belanja?" Setelah mendapat anggukan kepala Raline, aku kembali meneruskan pertanyaan. "Waktu barang belanjaannya udah sama lo, lo lihat struk belanjanya nggak?"

"Iya, gue lihat. Ada kok waktu itu, dan sesuai sama barang yang gue beli."

"Struk belanjanya sekarang di mana?"

"Ya gue buang lah."

"Ya ampun, Raline. Lo tuh harapan gue satu-satunya." Rasanya aku seperti kehilangan semangat. Walau dari awal aku tidak yakin Raline akan menyimpan struk belanja keramat itu.

(Not) A Big Deal (Selesai ✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang