"Hidup lo enak banget sih, Ran. Beruntung mulu. Kenal Ranggih, dibaikin sama Mas Kahfi, eh malah bisa semobil sama Mas Kahfi. Iri gue sama lo, Ran. Sumpah."
Sebelum memasuki rumah tantenya, Mas Kahfi sempat menyapa Diza sekilas. Lalu berjalan santai menuju rumah yang tepat berada di depan rumahku, tanpa menoleh lagi ke arah Diza. "Gue nggak seberuntung itu, Za. Asal lo tahu, gue juga iri sama lo. Setidaknya sampai umur lo sekarang, lo masih bisa merasakan pelukan hangat seorang ayah."
Diza jadi diam, tak lagi membantahku. "Yasmine nemenin Leon kan? Gue nginap di sini, boleh?" ujarnya mengalihkan topik.
"Boleh, tapi bayar ya."
Diza mengangguk, membuka tas-nya dan mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan. "Berapa tarif satu malamnya?"
"Astaga... Gue bercanda, Diza."
Salah satu sifat Diza yang positif tetapi juga bisa dianggap negatif adalah seperti yang baru saja terjadi. Gadis itu terlalu royal mengeluarkan uang. Tidak pernah perhitungan dalam hal apa pun. Anak Sultan sih.
Bagi seorang Fadiza Azzalea, bekerja bukan suatu keharusan. Tujuannya bekerja bukan untuk mencari uang. Melainkan untuk mengisi waktu kosongnya saja. Tidak bekerja pun, Pak Sultan (nama ayah Diza) sanggup memenuhi semua kebutuhan putri semata wayangnya itu. Dia bahkan punya pesawat jet pribadi yang sudah jarang dia gunakan sejak bekerja di bank. Atau kuasumsikan sejak ia mengenal Mas Kahfi.
Kenapa Mas Kahfi? Diza tidak pernah absen bekerja, kecuali sakit. Katanya, dia selalu ingin melihat Mas Kahfi, walau dari jauh.
"Nggak papa, Ran. Papa baru transfer uang ke gue soalnya. Hitung-hitung gue bagi-bagi rezeki sama lo kan? Siapa tahu karena gue udah berbaik hati sama lo, Tuhan mendengar doa gue dan bikin Mas Kahfi tertarik sama gue."
Dasar bucin.
Sejak mendeklarasikan dirinya sebagai pemuja Mas Kahfi dua tahun lalu, alur hidup Diza memang lebih baik. Tidak lagi clubbing, tidak lagi gonta-ganti pacar, dan cara berpakaiannya tidak separah dulu.
Diza tak jauh berbeda dengan sahabatku, Raline. Letak perbedaannya ada di clubbing, yang mana Raline tidak pernah melakukannya. Pernah sih sekali, itu pun karena menemani pacarnya.
Selain itu, gaya hidup Diza serba waw, serba mewah. Tiap tahun ganti mobil baru. Kalau liburan, kelasnya internasional. Europe, jelas makanannya.
Sayang, Diza nggak tahu kalau sebenarnya cintanya nggak bertepuk sebelah tangan. Kalau saja aku tidak terlanjur berjanji dengan Mas Kahfi, aku yakin Diza pasti nggak berhenti tersenyum mengetahui fakta tersebut.
***
Usaha Pak Andi untuk mendekatiku semakin gencar. Jika dulu paling tidak seminggu sekali dia datang menggangguku di kantor, sekarang dia datang setiap hari. Kutekankan sekali lagi, SETIAP HARI.
Aku jadi ingin bertanya padanya, apa dia tidak punya kesibukan lain selain kelayapan di kantor orang? Kantor ini memang bukan milikku. Tapi tetap saja aku merasa sangat tidak nyaman melihatnya berkeliaran di sekitar kantor tempat aku menghabiskan lebih dari sepertiga hariku untuk bekerja.
Dia memang tidak menimbulkan keributan. Hanya duduk diam sambil sesekali berjalan keluar masuk kantor sesuka hatinya. Rekan kerjaku yang lain, hanya melayangkan tatapan prihatin padaku yang tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak mengganggu, tidak berbuat kericuhan, jadi security tidak bisa mengusirnya.
"Sudah satu minggu saya patroli di sini, tapi tidak sekali pun saya melihat tanda-tanda kehadiran laki-laki yang mengaku sebagai kekasihmu itu."
Jadi tujuannya selama ini, cuma untuk memastikan Ranggih beneran pacarku? "Apakah Pak Andi tidak memiliki kesibukan yang lebih penting dari sekedar mengikuti saya di kantor?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) A Big Deal (Selesai ✔)
ChickLitKiran merasa hidupnya baik-baik saja, meski di usianya yang hampir mendekati angka tiga puluh, ia belum juga memiliki pasangan. Bagi Kiran, selama ia tetap bisa berselancar di dunia oren, berkhayal tentang tokoh-tokoh tampan karangan penulis, ia sud...