"Sihoon-ah, mari berpisah."
Gerakan pada sendoknya mendadak berhenti. Ini bukan bulan april, pun bukan hari ulang tahunnya. Dan bercanda Hangyul sama sekali tak lucu.
"Berhenti bicara yang tidak-tidak Hangyul. Ini bukan april mop. Tidak lucu sama sekali."
Elak Sihoon pura-pura bersikap sesantai mungkin meski tak dapat dipungkiri jika hatinya menimbulkan nyeri di sana.
"Sihoon-- maaf."
Bibir dalamnya ia gigit kuat. Mati-matian menahan gejolak panas dipelupuk matanya yang kian memberat. Jadi-- begini kah akhir dari rajut rumah tangganya dengan sosok yang begitu ia cinta? Perpisahan? Bahkan tak pernah sedikitpun dalam benak Sihoon membayangkan kata-kata menyeramkan bak mimpi buruk tersebut.
"Ta-tapi kenapa?" Cicit si surai madu pelan tak menyadari jika suaranya berubah bergetar.
Hangyul berusaha abai. "Hatiku berubah Sihoon. Semuanya-- terasa hambar."
Dengan iris bundar yang berkaca, Sihoon memberanikan diri mengangkat wajahnya bersitatap dengan wajah tampan sang suami yang tak jua membuatnya bosan hingga tahun ke enam pernikahan mereka.
"Bahkan saat kita telah memiliki Sihoo? Putera kita bahkan baru saja memasuki taman kanakanak Hangyul!"
Jerit Sihoon putus asa. Perpisahan adalah kata-kata yang Sihoon hindari lebih dari apapun. Terlebih mereka telah dikaruniai putera berumur lima tahun, Sihoon tak sampai hati membayangkan Sihoo tumbuh tanpa ayahnya kelak.
"A-apa ada orang lain yang menggeser posisiku dihatimu? Apa ada sosok lain yang membuatmu nyaman lebih dari pelukanku? Apa-- huks, jawab Lee Hangyul.. kau membuatku nampak sangat menyedihkan.."
Hangyul memejamkan mata begitu melihat linangan airmata sosok yang sejak dulu begitu berarti untuknya. Bohong jika ia berkata tak lagi mencintai Sihoon, si manis itu masih tetap menjadi tokoh utama dalam hatinya hingga sekarang.
Ia hanya lelah dengan segalanya. Jenuh dan bosan adalah biang keladi dari segala ucapannya barusan. Meski orang-orang berkata jika jenuh dan kebosanan bersifat sementara dan hal yang lumrah dalam hubungan, nyatanya Hangyul tak dapat melenyapkan dua penyakit tersebut dengan mudah.
"Kau bosan padaku? Kau jenuh? Jika ya, ayo kita selesaikan ini bersama-sama.. aku tak ingin berpisah demi Tuhan Hangyul! Sihoo-- Sihoo membutuhkanmu. Aku pun membutuhkanmu-- "
"Sihoon-ah.. "
Isak pedih dari sosok ibu dari puteranya nyatanya dapat menyayat hati Hangyul begitu telak. Lantas mengapa ia dengan berani mengajukan perpisahan? Bahkan jika ia sendiri pun tak mampu menjalaninya?
"Kau mencintai orang lain? Jika ya, aku mengijinkanmu-- aku--aku bersedia dimadu, asalkan kau tidak meninggalkan kami."
"Tidak Kim Sihoon! Berhenti berkata tak masuk akal!"
Sihoon mematung, tubuhnya hampir limbung jika saja ia tak meraih sisi meja dengan cepat. Hangyul sama kagetnya tatkala tubuh Sihoon kehilangan keseimbangan hingga nyaris terjatuh.
"K-kim Sihoon? Aku Lee Sihoon! Panggil aku Lee Sihoon! Brengsek bedebah tak tahu diri! Aku- aku-- huks."
Ditangkupnya pipi basah Sihoon, lantas mengajak si manis menyelam dibalik iris masing-masing.
"Tak ada orang lain yang dapat membuatku jatuh hati selain kau. Bisakah, kau memberikanku waktu? Ijinkan aku pergi sementara untuk meyakinkan hati ini jika ia masih terus terikat denganmu."