2

612 83 10
                                    

Kala di pagi yang mendung disertai udara sejuk, cocok untuk bermalasan dibawah selimut bersama kopi panas. Sayang, para mahasiswa menepis semua keinginan tersebut, sibuk memanaskan otak. Hari ini hari terakhir ujian, ditambah mata kuliah dosen killer sebagai ujian penutup. Tentu, tidak ada yang mau mengulang dan bertemu kembali dengan si dosen killer. Nyaris seluruh mahasiswa kelas belajar mati-matian untuk pass dari mata kuliah tersebut. Mendapat nilai B sudah wajib bersyukur dan penuh ppi tam nun mul. Hasilnya, kelas menjadi hening dan membosankan. Mereka sibuk berkutat dengan buku dan jurnal terbal pemberian dosen.

Tapi, sudah kubilang nyaris semua mahasiswa, bukan? Terkecuali halnya dengan mahasiswa bernama Park Jimin. Dia duduk sangat santai, menyenderkan kepala ke meja sembari memainkan game dan sesekali mengumpati nama 'Jeongguk', rival sekaligus partner dalam game online. Kelakuan acuhnya seakan ujian bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan apalagi secara berlebihan. Menurut Jimin, overthinking dan menghapal berulang-ulang hanya akan memancing stress dan blank saat mengerjakan ujian. Lebih baik belajar jauh-jauh hari atau cukup hapal semua ceramah dosen disetiap pertemuan, ingat-ingat ulang semua perkataan penting dan kisi-kisi (seringkali muncul dalam soal) dan kerjakan ujian dengan modal percaya diri dan ingatan jangka panjang.

"Pagi Jim." seseorang ber-hoodie panjang oversize dan cap hitam menutupi sebagian besar wajah duduk dibelakangnya. Wajahnya setia ditundukkan dari awal masuk kelas. Jimin sampai repot-repot menoleh untuk memerhatikan sosok yang dikenal sejak sekolah menengah atas.

"Tumben baru datang Tae—WHAT THE PARK!"

Park Jimin nyaris terjungkal dari tempatnya duduk. Bila adegan ini ada dalam animasi, mungkin dia sudah menjatuhkan rahangnya.

"ssst. Jangan berteriak Park Jimin!" desis seseorang yang terganggu.

"Tidak mau belajar silahkan saja, tapi jangan ganggu kami dengan suara cemprengmu, Jimin-ssi."

Jimin mengacuhkan mereka, menarik dagu Taehyung, kemudian meringis. Ia bisa melihat dengan jelas warna biru keunguan mendominasi wajah tampan sahabatnya. Pipi kanan dan dahi membiru seperti bekas terkena jotos. Beberapa plester singgah dibagian hidung, bawah bibir yang robek dan dekat mata kanan yang bengkak. "Taehyung-ah, kenapa bisa begini? Seseorang melukaimu?" tanya Jimin melembut. Bukan sekali dua kali Jimin mendapati soulmate-nya terluka begini. Namun Taehyung selalu berkata—

"Tidak apa-apa, Jim. Aku yang ceroboh." dan menepis lembut tangan kawannya dengan senyum kotak.

Apa-apaan alasan tersebut?

Jimin hapal tabiat Kim Taehyung, si perfeksionis yang nyaris tidak pernah melupakan atau kehilangan barang, selalu memerhatikan kanan kiri sebelum menyebrang, memeriksa cuaca harian, menjaga lisan dan merendah agar tidak memancing emosi orang lain, Taehyung sangat berhati-hati dalam segala tempat dan situasi. Plus, disiplin dan ramah.

Bagaimana bisa orang seperti dia berkali-kali ceroboh?

Jimin menghela napas panjang, tersirat rasa khawatir dan prihatin. "Geurae? Lain kali lebih hati-hati lagi, Taehyung-ah." Namun siapa Jimin berhak memaksa untuk tahu segala permasalahan Kim Taehyung? Jimin lebih memilih menunggu Taehyung bercerita padanya suatu hari nanti. Ia akan menyimpan segala penasarannya dan fokus menghibur sang sahabat. "Ku kira wajah tampanmu di jotos alien."

Taehyung tertawa. "Bisa jadi? Ku duga, pelakunya alien bantet, namanya Jiminie pabo." balas Taehyung asal, memeleti lelaki bersurai nyentrik, oranye.

"Bangsat! Hehehe." cungar-cungir tak jelas, Jimin mencubit pinggang dari balik jaket Taehyung.

Sontak, Taehyung menjerit. "Appo, Jim..."

SaudadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang