3

594 81 8
                                    

Yoongi mendesah kesekian kali, emosinya meluap-luap namun kontras dengan ekspresi wajahnya yang menatap mahluk yang duduk cemberut di atas ranjang dingin—hendak membekukan Taehyung lewat tatapan tajam.

Pasalnya, setelah mendapat belasan jahitan dari punggung bawah sampai daerah pinggang yang sobek—akibat lemparan benda tajam—dan plester memenuhi wajahnya yang hancur lebur, pemuda Kim bersikeras menolak beristirahat di kamar dan berkata mau membantu Yoongi bekerja di studio, rutinitas sehari-hari sepulang kuliah.

Karena menurut pemuda Kim, dirinya ’kan bukan Tatto Artist seperti Yoongi, Namjoon atau Hoseok. Jadi, kerjaan dia tidak sulit. Hanya menyapu, pel, merapikan alat-alat seperti gun, tinta, jarun, petroleum, botol spray dan lain-lain.

Sementara Yoongi heran. Bagaimana bisa Kim Taehyung berangkat kuliah dengan luka menganga lebar? Terlebih, anak itu hanya memasang kasa dan plester asal demi mencegah pendarahan pada bagian luka yang menganga.

Bocah gila itu juga tidak makan apapun sebelum berangkat sekolah, padahal Taehyung punya maag kronis.

Yoongi mengembuskan napas kesal, mendorong pelan tubuh Taehyung hingga kembali rebahan di ranjang. “Berhenti keras kepala dan istirahat setidaknya satu hari penuh, Kim. Menolak, uang jajan potong tiga bulan.”

Taehyung balas, menjulurkan lidah. “Mau hyung potong setahun pun, uang jajanku ga akan deposit.” tantangnya.

Bagamana mau merasa terancam? Jika Yoongi—Entah ingin pamer betapa kaya dirinya atau terlalu baik pada Taehyung—setiap bulannya menjatah uang saku yang jumlahnya berlebihan.

Oh ya, bocah ingusan ini rajin menabung. Tidak boros sepertiku.

Rutuk Yoongi dalam hati.

Namun bukan Yoongi namanya kalau kalah dalam perdebatan, apalagi dia punya terlalu banyak cara untuk menundukan Taehyung.

Right,” Yoongi tersenyum remeh. “dua pekan; tidur, makan, pergi kuliah—lakukan semua sendiri.” ujarnya dengan seringai tipis.

Mata besar Taehyung membelalak, mulutnya menganga lebar, menatap kakaknya dengan sorot paling malang, melebihi puppy eyes manapun.

“Ukh, mana bisa begitu! K-kau raja tega, hyungie!”

Pasalnya, peran Yoongi amat penting demi kelangsungan hidup Kim Taehyung. Koki pribadi, sopir antar jemput gratisan, juga guling penenang—since he can't sleep tight without hugging someone.

“Nggak usah pakai 'hyungie' kalau menurut saja susah, anak nakal.” Yoongi mendenguskan napas. Gemas saat sang adik menjambak rambut frustasi, berharap kepalanya memikirkan argumen lain untuk membalas si licik Min Yoongi.

Memanfaatkan keadaan frustasi sang adik, Yoongi kembali mengancam Taehyung. “Sekarang pilih, kau mau istirahat atau aku mogok dari jabatan kakak-kesayangan-Kim-Taehyung?”

Taehyung mendesis.

Sungguh, Taehyung benci beristirahat hanya karena luka yang baginya sepele.

Tentu saja.

Baginya, luka begini sudah menjadi pil pahit sehari-hari, terutama dulu sekali.

Saat dirinya masih tinggal bersama Ayah kandung. Siksaan adalah kesehariannya, bagian dari napasnya. Sekali lagi, Yoongi benar-benar berlebihan.

Toh, biasanya Yoongi juga menghajar Taehyung saat sakau, walau tidak pernah separah sekarang.

“Huh!” Merengut sebal tetapi Taehyung menjatuhkan diri atas ranjang king size luar biasa empuk.

SaudadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang