Jihye mengerang frustasi. Sudah kesekian kali mengetuk pintu kamar sang kekasih, namun tidak kunjung terbuka dari dalam. Nomor ponsel Jungkook pun tak dapat dihubungi.
Seharusnya tidak begini. Biasanya Jungkook tidak mengunci pintu, juga selalu membalas segala pesan Jihye tepat waktu.
Sudah dua hari pemuda itu menghilang. Jihye bahkan rela menghabiskan saktu untuk mengunjungi beberapa kamar tetangga dan di tempat kerja lelakinya hanya untuk bertanya keberadaan pemuda itu, tapi tidak ada yang melihat.
Dadanya seakan ditekan begitu kuat—nyaris tak dapat bernapas sebab ia terlalu banyak menangis hari ini.
Zoey juga selalu menanti di depan kamar Jungkook. Sesekali berlari menghampiri Jihye dan menggesekkan kepalanya di betis gadis itu.
“Zu-ya, di mana dia? Kenapa Jeonie kita tidak ada kabar. Apakah dia tidak lagi sayang dengan kita?”
Jihye meletakkan Zoey ke atas pahanya. Satu jam sudah Jihye habiskan untuk terduduk di depan kamar Jungkook—menunggu kepulangan pemuda yang tengah dikhawatirkan.
Dan jam sudah menunjuk angka sebelas malam. Wanita paruh baya yang baru saja mencapai dua belas anak tangga itu memegangi dadanya.
“Ji-ya—Cucuku ... ayo, pulang. Kau bisa kembali lagi besok. Kakek mencarimu, Sayang.”
Jihye mendongak, dengan pandangan kabur lantaran terlalu banyak menampung cairan asin. Lantas gadis itu menggeleng kencang.
“Ji-ya masih ingin di sini. Ingin menunggu Jeonie, Nek.” Sang nenek menatap iba, lalu menghampiri cucunya dan berlutut untuk menghapus air mata gadis itu. “Dia meninggalkan Jihye, Nek. Jihye takut. Jihye tidak ingin Jeonie pergi. Tidak mau ... Jihye rindu Jeonie.”
Entah sejak kapan, melihat kehancuran sang cucu untuk yang kedua kalinya berhasil membuat Nenek Park ikut menitikkan air mata.
“Sayang ... Jeonie punya kehidupan sendiri yang tidak harus kau ikut campuri. Nenek percaya dia akan kembali dan memberi banyak pelukan untukmu. Jangan menangis,” katanya lembut.
Jihye menggeleng keras. “Tidak, Nek. Jeonie sering berbohong pada Jihye. Jeonie bilang ia tidak akan lagi mengonsumsi obat-obatan itu, tapi dia masih mengonsumsinya. Jihye melihat di dalam dompet dan saku jaketnya. Jihye juga memergoki Jeonie yang hendak memggores urat nadinya dengan pisau kecil saat Jihye terbangun di malam hari. Nenek ... Jihye takut.”
Jeon Jungkook memang selalu buta dan tidak pernah mengerti—bahwa jantung yang masih berdetak, serta senyum hangat yang memabukkan itu tetap menunggunya untuk pulang.
....
Hari kelima. Jihye rasa tangisnya tak dapat lagi keluar, hanya sebuah napas berat yang terus mengalun lewat celah bibir kecilnya.
Gadis itu masih juga duduk di depan pintu apartemen Jungkook, bersama Zoey yang senantiasa menemani kesedihannya.
Tidak ada lagi senyum yang dapat ia bagi kepada semua orang. Pun tidak ada pula suara lembut yang membuat orang-orang berdecak kagum.
Jihye terlalu banyak membungkam dirinya. Dan itu karena Jungkook. Pemuda yang satu itu berhasil merenggut semua yang nyaris sempurna milik Jihye.
Senyumnya hilang karena Jungkook, harinya hambar karena Jungkook, hidupnya hancur pun karena ulah Jungkook.
Bukan lagi bajingan. Jungkook terlampau pandai untuk memiliki Jihye yang mempesona, juga telampau cerdik menghempaskan gadis itu pada jurang yang paling dalam.
“Dia masih belum datang juga, Zu. Apakah dia benar-benar tidak sayang lagi dengan kita? Dia sudah menemukan kebahagiaan lain secepat itu? Kami bahkan baru saja berbagi cerita dan bertukar janji untuk saling menetap ... tapi dia ingkar sesingkat ini. Jahat sekali.”
Zoey menatapnya seolah menyalurkan perasaan sesak yang sama. Pemiliknya tak lagi mengerti, dan hanya Jungkook serta Jihye yang kucing itu miliki untuk melindunginya.
Tersisa dua jam lagi untuk menunggu Jungkook. Pagi tadi kakek berpesan untuk pulang setidaknya pukul sepuluh malam, dan sekarang sudah pukul delapan.
Harapannya nyaris luntur. Jungkook-nya tidak akan kembali. Kamar di belakangnya pun agaknya memang sudah tidak memiliki kehidupan yang nyata.
Akan tetapi, saat ia hendak berdiri dan memasrahkan segenap hati untuk tidak lagi tinggal, seseorang datang dengan kepala menunduk dan tertutupi topi hoodie.
Jihye menjilat bibirnya yang kering. Stagnan untuk beberapa waktu setelah melihat penampilan pemuda yang telah ia nanti. Sedangkan Zoey sudah turun dari pangkuannya dan berlari untuk menghampiri sang tuan.
Butuh semenit bagi Jihye dapat menetralkan rasa sakit, kecewa, dan juga senangnya. Ia bangkit, mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh sambil menatap Jungkook yang kini berani mendongak.
“Kau ke mana saja?” Jihye bertanya. Suaranya nyaris tercekat lantaran kerongkongannya mendadak perih. Matanya pun sama. “Kau meninggalkan kami tanpa kabar. Kau pikir tindakanmu sudah benar?”
Jeon Jungkook datang, dengan mulut tertutup rapat dan manik menatap sendu. Ada celah penyesalan yang tersirat di matanya sebelum memutuskan untuk menyingkirkan tubuh Jihye dari pintu kamarnya dan menendang Zoey.
Jihye mengeraskan rahang. Jungkook mengabaikannya, dan itu menyakitkan. Sesaat sebelum Jungkook masuk ke dalam kamar, Jihye menarik lengan hoodie pemuda itu.
“Kau brengsek! Apa yang kau pikirkan sampai bisa menghilang dan mengabaikan kami?!” Jungkook menatap lurus ke dalam kamarnya. “Jungkook! Jawab aku!”
Jungkook menepis pelan tangan gadisnya. “Pergilah. Aku lelah.” Jungkook melangkah masuk, lalu hendak menutup pintu. “Dan ya, aku memang brengsek.”
Bersamaan dengan pintu yang tertutup rapat, serta presensi berantakan Jungkook yang tak lagi terlihat, Jihye mendadak tak dapat menopang tubuh dengan kedua kakinya. Ia merosot, membekap mulutnya dan menangis di depan pintu kamar Jungkook. []
-13 Agustus 2019
ymowrite
KAMU SEDANG MEMBACA
Forget to Remember ✓
Fanfiction[COMPLETED] Lupa untuk mengingat. Pemuda Jeon Jungkook itu telah mencuci kepalanya dan membuang segala memori kelam kehidupan yang menjerumuskannya pada langkah-langkah berat dan menyakitkan. Lalu, Park Jihye datang dengan sukarela seraya mengulurka...