11

7.7K 1.1K 26
                                    

-warning-


Jihye masih setia terduduk di depan kamar Jungkook keesokan harinya. Berharap agar pemuda itu membuka pintu dan mau bercerita tentang sesuatu yang merusak hubungan mereka secara mendadak.

Pukul empat sore, dan Jihye sudah menanti enam jam lamanya setelah pulang dari pasar bersama nenek.

Zoey menghilang entah sejak kapan. Barangkali kucing kecil itu tengah mencari sampah untuk mengisi perut sebab sang pemilik keduanya tak lagi memunculkan batang hidung.

Gadis itu menyandarkan kepalanya pada tembok. Mengetuk ujung sepatunya dengan bosan, kemudian tersentak manakala suara kunci dari pintu memasuki rungu.

Jeon Jungkook membukanya, membuat Jihye lekas berdiri dan menepuk pantatnya untuk beberapa saat.

Mereka saling bertukar pandang. Enggan membuka suara lantaran terfokus pada pikiran masing-masing.

Hingga pada menit pertama, Jungkook berdeham usai meloloskan satu desah napas kesal. “Masuk,” ujarnya datar.

Nadanya terdengar memerintah, namun tak mau menatap tajam. Menyadari itu, Jihye kemudian mengangguk dan melangkah masuk.

Dua detik setelah Jungkook menutup pintu, disertai gadis Park yang memutar tubuh untuk menatap Jungkook di belakangnya, pemuda Jeon itu dengan cepat mengangkat gadisnya dan mempertemukan bibir keduanya.

Ciuman menggebu, kasar, dan penuh rindu. Jihye bahkan menekan tengkuk Jungkook dua kali lebih dalam dengan derai air mata yang membanjiri pipi.

Jungkook membawanya ke atas ranjang. Masih mempertahankan cumbuan, tangannya mulai bergerilya melepas cardigan yang Jihye kenakan.

Napas dua sejoli itu tak beraturan, tapi tetap saling bertukar saliva dan berperang lidah hingga Jungkook berhasil melepas seluruh helai kain di tubuh sang pujaan.

Cumbuannya berhenti untuk sesaat. Jungkook sibuk melepas pakaiannya di atas tubuh Jihye, sedangkan gadis itu masih betah terisak meskipun pandangannya tak beralih menatap Jungkook.

Tidak butuh satu menit untuk Jungkook menjadikan tubuhnya telanjang bulat. Buru-buru mengungkung sang gadis dan kembali menautkan bibirnya saat Jihye mengalungkan lengan pada lehernya.

Jungkook rindu gadisnya. Teramat rindu sampai rasanya nyaris mati. Rasa menyesal itu kembali hadir manakala isakan Jihye semakin tak terbendung.

“Maafkan aku,” bisik Jungkook sebelum mengarahkan bibir pada pucuk dada gadisnya.

Jihye menutup rapat matanya. Jemarinya menelusup masuk pada helai rambut Jungkook yang setengah basah akibat permainan mereka.

“Aku benci karena kau mengabaikanku.” Itu jelas suara Jihye yang tertahan. Lidah dan tangan Jungkook terus menggoda hingga—“Eungh.” Pelepasannya datang setelah pemuda itu menggesekkan ujung penisnya.

Setelah Jihye merasa penuh lantaran Jungkook yang memasukkannya secara mendadak, pemuda itu mendiamkan pinggulnya demi menikmati paras ayu sang pujaan.

Jemarinya mengusap pipi Jihye. Bibirnya maju untuk mengecup kedua mata sembab gadis itu bersamaan dengan pinggulnya yang bergerak perlahan.

“Seseorang mengabariku soal ibu.” Jungkook berbicara tanpa memutus pandang dengan sang gadis. Maniknya terus mengunci seolah ia adalah objek paling sempurna. “Ibu ... meninggal. Ibu meninggalkanku, Ji-ya.”

Gerakan di bawah sana sempat berjalan kasar. Akan tetapi, tangan Jihye meremas kuat lengan Jungkook.

“J-Jeonie ... sadarlah. Sakit sekali.” Jungkook menghentikan pinggulnya, kemudian meloloskan satu bulir air mata yang jatuh di pelipis gadis itu.

“Ji-ya, aku benci dengan diriku sendiri. Kenapa aku menghilang saat ibu tengah membutuhkanku? Kenapa, Ji-ya?”

Jihye berakhir menarik Jungkook ke dalam dekapannya. Tidak melupakan tautan di inti tubuh mereka, tetapi Jihye tetap mengesampingkannya sebab Jungkook-nya yang menangis.

Bibirnya tidak bersuara, hanya tangan yang berperan aktif untuk menenangkan pemuda di atasnya.

“Ibu terserang AIDS dan aku malah bersenang-senang denganmu di sini. Kenapa aku tidak pernah menjadi anak yang berguna? Kenapa?!”

Jihye mengeratkan pelukan. “Jeonie ... tolong jangan seperti ini. Ibu pasti bangga padamu. Kau bercerita bahwa kau selalu menuruti ibu untuk menjadi juara kelas. Kau juga selalu menuruti ibu untuk masuk ke dalam kamar saat sudah malam. Ibu sangat bangga, percayalah.”

Jungkook menggeleng di ceruk leher gadisnya. “Tapi aku meninggalkannya. Ibu butuh aku, dan aku bahkan nyaris melupakan seluruh yang ada dalam kehidupanku.”

Hening beberapa saat. Jihye tidak dapat lagi memberikan suaranya sebab takut berucap salah—meskipun ia yakin bahwa Jungkook tengah mencoba mencari bahu di sana.

“Ji-ya, aku harus menyusul ibu.” Jungkook melepaskan diri mendadak, lalu turun dari atas ranjang.

Jihye tentu panik. Gadis itu hendak memakai kembali pakaiannya, namun ia urungkan saat Jungkook telah menggenggam pisau di tangan kanannya.

“Jeonie, kumohon jangan seperti ini.” Jihye menangis. Tungkainya nyaris merosot jika saja ia tidak memegangi pinggiran meja. “Tenangkan dirimu dan jauhkan benda itu dari tanganmu. Tolong dengarkan aku.”

Jungkook menyeka air matanya kasar dan mengabaikan Jihye. “Ji-ya ... aku ingin menyusul ibu. Aku harus bertemu dengannya. Aku ingin memeluk ibu.”

Jihye menggeleng tegas. “JEON JUNGKOOK, JANGAN GILA! JAUHKAN PISAU ITU SEKARANG ATAU AKU AKAN IKUT MATI BERSAMAMU!”

Gadis itu memeluk kaki Jungkook. Menangis di sana lebih keras. “Tolong jangan meninggalkanku lagi. Kita sudah berjuang sekeras ini untuk keluar dari kehidupan gelap kita. Jangan. Tolong ....”

Seketika itu pula Jungkook menjauhkan pisaunya. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu menarik Jihye untuk berdiri dan memeluknya.

“Maafkan aku, Ji-ya. Maafkan aku.”

“Jangan menganggap dirimu tidak berguna. Aku dan Zoey masih membutuhkanmu. Kami semua menyayangimu, Jeonie.”

Aku rindu ibu ....”

Jihye mengangguk. “Aku mengerti perasaanmu,” lirihnya dengan suara yang masih bergetar. “Kau boleh menyerah pada dunia, tapi tolong ... jangan menyerah padaku—sebab aku akan terus ada di sini. Aku ada di sampingmu. Percaya padaku.” []

- 18 Agustus 2019
ymowrite

Forget to Remember ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang