05

7.5K 1.2K 34
                                    

Berjalan menyusuri jalanan sepi dan cahaya temaram. Jungkook menghempas kerikil yang menghalangi jalan dengan sepatu bututnya.

Pukul sebelas malam. Semestinya dia sudah sampai rumah sejak tiga jam yang lalu. Akan tetapi, pemuda Jeon itu memilih untuk terdiam dan merenung di minimarket agak lama.

Sudah terhitung dua hari Park Jihye tidak menyapanya, menghampirinya, bahkan membagi senyum hangat padanya. Dan jujur saja, Jungkook mulai haus dengan tingkah mematikan gadis itu.

Sangat disayangkan sebab Jungkook tak pernah berusaha meminta nomor ponsel gadis itu. Pun ia sadar betul akan posisinya yang tak begith berarti.

Jaket ia eratkan setelah dirasa angin malam cukup tajam menyengat kulit. Surai panjang dan berantakan ia biarkan menutupi sebagian pemandangan.

Kacau. Ia sudah kacau, tapi membuatnya lebih kacau lagi.

Kakinya dengan malas menapaki anak tangga gedung flat. Berat di kepalanya yang sejak pagi ia rasakan kini menjadi semakin parah manakala ia berhasil menginjak anak tangga terakhir.

Tangannya memijat pelipis untuk mengurangi pening, sedang langkahnya sudah tak lagi seimbang bersamaan dengan suara lirih seorang gadis yang berdiri di depan pintu kamarnya.

“Jungkook ... kau sakit?” Familiar. Jungkook tahu suara lembut itu hanya dimiliki oleh Park Jihye.

Jungkook nekat berjalan, tapi dengan segera gadis Park itu berlari kecil untuk mencapai Jungkook yang nyaris limbung ke belakang.

“Biar aku membantumu,” katanya cemas kemudian meminta kunci pintu pada Jungkook.

Setelah menerima kunci dan membuka pintu kamar Jungkook, gadis itu lekas menutup pintu dan membawa Jungkook ke ranjang sempit pemuda itu.

Punggung tangan Jihye langsung menyentuh kening Jungkook sesaat setelah pemuda itu merebahkan diri dan menutup matanya.

“Bisakah sehari saja kau tidak membuatku khawatir?” Jihye bertanya lirih, mendadak panik sebab di dalam flat Jungkook tidak ada apa pun. Lemari pendingin ukuran kecil pun tak ada isinya selain ikan mati untuk jatah makan Zoey.

Sialnya, Jihye tidak membawa ponsel bersamanya, juga tidak menghafal nomor nenek serta kakek.

“Kau benar-benar tidak punya obat satu pun?” Jungkook menggeleng, masih dengan mata terpejam. “Gila! Setidaknya sedia obat demam untuk mengatasi hal seperti ini!”

Omelan bernada khawatir dari mulut Jihye mengalun melalui indra pendengar Jungkook.

Jungkook jadi bertanya-tanya. Kira-kira kapan terakhir seseorang memberi perhatian semacam ini? Tidak. Tidak pernah. Hanya Jihye dan keluarganya yang menganggapnya ada—juga kucing lucu yang malang.

Pergi ke dapur milik Jungkook yang menyatu dengan kamar tidur, Jihye berakhir mendesah kasar sebab yang dapat ia temukan hanya bungkus-bungkus mi yang telah kosong dan beberapa mi yang masih utuh.

Dia benar-benar tidak pernah mengurus tubuhnya.

Jihye menggigit bibir. Menduga dengan yakin kalau Jungkook hanya mengisi perut dengan mi instan setiap harinya, dan mungkin hari ini pemuda itu tengah malalaikan waktu makannya.

“Kau tidak punya apa pun, Jungkook. Lalu aku harus bagaimana?” Jihye mengusap wajahnya frustasi, lantas duduk di tepi ranjang sambil memandangi wajah pucat pemuda Jeon itu.

“Aku punya kau.” Jihye enggan merespons dengan cepat. Kepalanya terlalu sulit untuk menerima jawaban Jungkook yang terdengar dua belas detik lalu. “Tolong berikan tanganmu. Peluk aku, Ji-ya.”

Jungkook menatap sayu—memohon agar Jihye cepat menuruti permintaannya. Dan untuk pertama kalinya, Jihye melihat sepercik harapan yang datang melalui manik redup itu.

Jihye tidak menjawab. Gadis itu dengan sigap menuntut tubuhnya untuk berguling di sisi kosong ranjang dan memeluk Jungkook.

Rasa takut itu kian menghilang seiring tubuh Jungkook yang membalas dengan memeluk tak kalah erat. Kepala pemuda itu ditenggelamkan di bawah leher Jihye dan menyebarkan napas panas di sana.

Jihye lupa kapan terakhir ia mendapat perlakuan seperti ini. Apa tidak pernah? Jihye bukan lupa, hanya enggan untuk mengingat.

“Kalau kau butuh sesuatu ... kau bisa mencariku, Jeonie. Pintu rumah akan selalu terbuka untukmu, aku janji.” Jihye mengusap punggung Jungkook yang masih berbalut jaket. “Jangan mengacau lagi. Hidupmu masih panjang, tapi kau selalu berusaha merusaknya. Paling tidak, kau harus peduli dengan kesehatanmu.”

Dengkuran halus itu menyapanya, membuat Jihye mengeluarkan cairan asin yang sejak tadi ia tahan.

“Bagiku ... kau itu spesial. Bukan hanya pemuda pengrusak dan kacau. Aku tahu kau hanya belum menerima jalanmu dengan baik. Aku menyayangimu. Maka dari itu, biarkan aku menolongmu. Aku tidak peduli lagi dengan penolakanmu.”

Jihye barangkali tidak tahu bahwa sebenarnya Jungkook tengah menangis di dalam relung hatinya. Jungkook tidak tuli, tidak juga batu. Ia mendengar semuanya. Termasuk bagaimana gadis itu menggambarkan rasa sayangnya.

Dan detik ini, Jungkook sangat amat mengerti bahwa ia layak untuk kembi hidup—bersama tangan Jihye yang senantiasa menuntunnya. []

-06 Agustus 2019
ymowrite

Forget to Remember ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang